Patehan: Tradisi Penyajian Teh ala Keraton Yogyakarta

Ketika bicara soal Yogyakarta, kita tak hanya bicara soal gudeg, Malioboro, atau Candi Prambanan. Di balik gegap gempita kota wisata ini, tersimpan ratusan tradisi adiluhung yang pelan-pelan mulai tenggelam oleh waktu. Salah satunya adalah Patehan, sebuah prosesi penyajian teh kuno ala keraton yang sarat makna dan filosofi.

Tradisi Teh yang Bukan Sekadar Minum Teh

Patehan berasal dari kata "teh" dan secara harfiah mengacu pada tradisi menyajikan minuman teh untuk keluarga raja. Prosesi ini dilakukan oleh Abdi Dalem (pelayan keraton) dan telah berlangsung sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Pada masa-masa awal, Patehan dilakukan setiap hari, lengkap dengan arak-arakan menuju Gedhong Prabayeksa, tempat raja menerima teh.

Namun, seiring bergantinya zaman, kebiasaan ini mulai berubah. Memasuki era Hamengku Buwono IX, tradisi Patehan hanya dilakukan dua kali sehari—pagi pukul 06.00 dan siang pukul 11.00—karena mobilitas sang raja yang semakin tinggi. Kini, Patehan tak lagi jadi rutinitas harian, melainkan ritual simbolik yang hadir di momen-momen khusus seperti perayaan keraton atau kunjungan kenegaraan.

Ritual Sakral Penuh Tata Krama

Satu hal yang membuat Patehan istimewa adalah cara penyajiannya yang masih menggunakan metode tradisional. Air untuk menyeduh teh diambil langsung dari sumur Nyai Jalatunda—sumur yang dianggap keramat—dan direbus dengan ceret tembaga di atas perapian kayu. Konon, tembaga dipilih bukan tanpa alasan. Bukan hanya karena fungsinya yang menetralkan air, tapi juga diyakini sebagai penolak bala.

Para Abdi Dalem menyajikan teh dengan ketepatan rasa yang nyaris tak pernah berubah. Tak ada gula yang berlebihan, tak ada racikan instan—semuanya ditakar dan disajikan dengan sepenuh rasa dan tanggung jawab. Bahkan, dalam satu set alat penyajian yang disebut "Rampadan"—terdiri dari teko, cangkir, cawan, sendok, kopi, air panas, dan air putih—terdapat aturan ketat soal urutan dan cara penataannya.

Dan ya, teh yang disajikan tak boleh diaduk. Ini bukan soal selera, tapi filosofi: kesabaran dan penerimaan, bagaimana kita meresapi rasa tanpa perlu mencampuri terlalu banyak.

Sebuah Simbol Keharmonisan dan Penghormatan

Patehan bukan sekadar ritual menyeduh dan menyeruput teh. Ia adalah perwujudan nilai-nilai luhur yang dipegang erat oleh Keraton Yogyakarta: penghormatan pada Sang Pencipta, keteraturan dalam tindakan, dan olah rasa sebagai wujud pencarian ketenangan batin.

Bayangkan, lima orang Abdi Dalem berjalan beriringan membawa Rampadan, menaungi teko teh dengan payung kuning simbol perlindungan, melangkah dengan pelan dan penuh hormat menuju tempat tinggal raja. Bukan hanya menyuguhkan teh, mereka juga menyuguhkan keheningan, disiplin, dan sebuah bentuk cinta terhadap tradisi.

Di tengah dunia yang semakin cepat dan instan, Patehan mengajak kita untuk duduk sejenak, menyeduh rasa, dan mengingat bahwa dalam secangkir teh, tersimpan ketenangan yang tidak bisa diburu-buru.

Dan mungkin, itu juga yang kita butuhkan hari ini: tidak hanya teh, tapi juga jeda.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak