Yogyakarta tak hanya kaya akan bangunan bersejarah dan budaya yang lestari, tapi juga menyimpan beragam tradisi kuno yang masih terus dijaga. Salah satu tradisi yang sarat makna dan estetika adalah Jemparingan, seni panahan gaya Mataram yang tidak hanya menjadi olahraga, tapi juga sebuah bentuk laku spiritual.
Berbeda dengan olahraga panahan modern, Jemparingan memiliki gaya dan aturan main tersendiri. Panahan ini tidak dilakukan sambil berdiri, melainkan dengan duduk bersila, mengenakan pakaian adat Jawa, dan memegang busur di samping tubuh. Dalam setiap tarikan busur, tak sekadar fisik yang terlibat, tapi juga hati dan pikiran.
Tradisi ini sudah ada sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono I pada abad ke-18. Awalnya, Jemparingan hanya dilakukan oleh keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Seiring waktu, seni panahan ini diperkenalkan kepada prajurit sebagai latihan untuk membentuk karakter ksatria sejati.
Tak hanya ketangkasan, Jemparingan juga mengajarkan empat prinsip utama:
Sawiji: Fokus penuh pada tujuan
Greget: Antusias dan semangat yang membara
Sengguh: Percaya diri, tapi tidak sombong
Ora Mingkuh: Bertanggung jawab dan konsisten
Filosofi utamanya berbunyi "Pamenthanging Gandewa, Pamanthenging Cipta" yang berarti: semakin kencang busur dibentang, semakin tajam pula niat dan fokus pada sasaran. Sebuah pengingat bahwa dalam hidup, untuk mencapai tujuan, kita harus mampu menjaga konsentrasi dan keteguhan hati.
Busur atau Gandewa dan anak panah atau Jemparing biasanya dibuat dari bambu petung yang kuat. Anak panah memiliki beberapa bagian:
Deder (batangnya),
Wulu (bulu di ujungnya),
Nyenyep (bagian yang menempel ke tali busur).
Sasaran panah berupa silinder bernama Bandulan yang tergantung dan memiliki tiga bagian:
Molo (bagian atas berwarna merah dengan lonceng sebagai penanda kena sasaran),
Awak (badan berwarna putih),
dan bola kecil di bawahnya sebagai penentu penalti jika terkena.
Pemain duduk bersila menyamping ke kiri, memegang busur di tangan kiri dan menarik anak panah dengan tangan kanan. Sasaran diletakkan sekitar 10–20 meter di depan. Ketika anak panah mengenai bagian Molo atau Awak, maka lonceng akan berbunyi sebagai tanda keberhasilan.
Jemparingan bukan hanya tentang membidik sasaran, tapi juga menyelaraskan tubuh, pikiran, dan semangat. Dengan memahami nilai-nilainya, kita bisa memetik pelajaran hidup yang mendalam: tentang fokus, semangat, rasa percaya, dan tanggung jawab.
Di tengah derasnya modernisasi, kehadiran Jemparingan menjadi pengingat bahwa tradisi tak pernah kehilangan relevansi. Ia adalah warisan yang bukan hanya dijaga, tapi juga dijalani.