Kalau bicara tentang Keraton Yogyakarta, jangan hanya bayangkan bangunan megah dan tarian sakralnya. Di balik semua upacara itu, ada sosok-sosok setia yang disebut Abdi Dalem—orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk membantu Sultan dalam menjalankan roda organisasi Keraton. Mereka bukan sekadar staf atau pegawai, tapi bagian dari tradisi yang diikat oleh aturan, unggah-ungguh, dan rasa hormat.
Salah satu ciri khas Abdi Dalem yang paling gampang dikenali adalah busananya: pranakan. Nah, jangan buru-buru berpikir ini cuma baju seragam biasa. Dari namanya saja, sudah kental dengan makna filosofis. Kata “pranakan” konon berasal dari “pernakan” yang berarti rahim atau kandungan. Ada juga tafsir lain: “diper-anak-kan”, artinya seorang Abdi Dalem dianggap lahir dari rahim yang sama, saudara seibu dalam pengabdian.
Nggak heran kalau cara memakai baju ini pun unik. Pranakan dikenakan dengan cara dimasukkan dari atas kepala atau dalam istilah Jawa disebut dislobokke. Mirip banget dengan proses kelahiran seorang bayi dari rahim ibu. Jadi, sejak awal busana ini sudah mengandung simbol: Abdi Dalem bukan sekadar pekerja, tapi bagian dari keluarga besar Keraton.
Busana pranakan resmi jadi seragam Abdi Dalem sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Ceritanya, beliau terinspirasi dari busana kurung para santri putri di Banten yang beliau lihat saat berkunjung ke sana di abad ke-19. Dari situlah, model ini diadopsi dan dijadikan pakaian resmi Abdi Dalem pria dalam menjalankan tugas sehari-hari, baik di dalam maupun di luar Keraton.
Nah, yang menarik, pranakan bukan sekadar kain yang dililit-lilit sembarangan. Ada aturannya, ada lapisan-lapisannya.
Bagian kepala ? Abdi Dalem pria wajib memakai udheng atau blangkon khas Yogyakarta, dengan ciri mondolan di belakang.
Samir ? semacam pita tanda tugas yang dikalungkan di leher sampai dada. Kalau lagi nggak dipakai, biasanya diselipkan di pinggang sebelah kanan.
Lapisan pinggang ? terdiri dari tiga tingkat:
Setagen (pengikat jarik)
Lonthong (kain polos untuk menutup setagen)
Sabuk dengan pengait yang disebut timang
Kain bawahan ? disebut nyamping/sinjang/jarit bermotif batik gagrak Yogyakarta. Motif larangan tentu tidak boleh dipakai. Bagian depan kain harus dilipat dengan teknik wiron engkol, ujung bawahnya mengarah ke kiri. Selain rapi, lipatan ini juga berfungsi praktis: biar kain nggak mengganggu saat jongkok atau duduk.
Kaki ? biasanya dibiarkan tanpa alas. Yup, Abdi Dalem dengan pranakan-nya berjalan bertelanjang kaki, sebuah simbol kerendahan hati sekaligus penghormatan.
Jadi jelas, pranakan bukan cuma soal estetika. Ada filosofi, ada simbolisme, ada kesetiaan. Setiap helai kain, setiap lipatan, bahkan cara mengenakannya, menyimpan makna yang bikin kita sadar: jadi Abdi Dalem itu bukan sekadar bekerja, tapi juga belajar hidup dalam kerendahan hati dan pengabdian.
Gambar seragam abdi dalem keraton yogyakarta wikipedia