Jauh sebelum manusia Jawa mengenal not balok atau istilah “orkestra”, mereka sudah lebih dulu akrab dengan satu hal sederhana: memukul sesuatu untuk menciptakan bunyi. Dari situlah tetabuhan lahir bukan sekadar bunyi, tapi bahasa spiritual, sosial, dan budaya. Jejak tetabuhan di Jawa bisa ditarik sangat jauh ke belakang, bahkan hingga masa prasejarah. Nekara dan moko benda perunggu yang kini lebih sering dipajang di museum dulunya bukan artefak mati. Mereka dipukul, ditabuh, dan dihidupkan.
Nekara, Moko, dan Urusan dengan Leluhur
Pada masa prasejarah, nekara dan moko dipercaya sebagai medium komunikasi dengan roh leluhur. Bunyi yang dihasilkan bukan sekadar suara, melainkan panggilan. Harapannya satu: kesejahteraan. Hujan turun, panen berhasil, hidup berjalan. Namun fungsinya tak berhenti di situ. Dalam kehidupan sosial, moko juga bisa menjadi penanda status, mas kawin, bahkan benda bernilai ekonomi. Di titik inilah tetabuhan mulai punya dua wajah: sakral dan profan. Ia adalah alat ritual, sekaligus alat musik.
Dari Upacara ke Panggung
Memasuki periode Hindu-Buddha, tetabuhan tak lagi hanya hadir di ruang-ruang upacara. Ia mulai menemani tari, prosesi kerajaan, dan peristiwa resmi. Prasasti Randusari II tahun 905 Masehi mencatat keberadaan penabuh orang-orang yang secara khusus bertugas menciptakan bunyi dalam upacara penetapan wilayah sima oleh Raja Balitung.
Alat yang ditabuh pun makin beragam. Prasasti Jawa Kuno menyebut regang (simbal), gendang (kendang), dan instrumen lain yang kelak menjadi fondasi gamelan. Bukti visualnya bisa kita lihat di relief Candi Borobudur: musisi terpahat abadi di dinding batu, seolah bunyinya masih menggema sampai hari ini.
Gamelan dan Keramaian yang Sakral
Pada masa Islam di Jawa, tetabuhan mencapai fase kematangannya. Gamelan lahir sebagai kesatuan bunyi: dipukul, dipetik, dan diatur dalam harmoni yang rapi. Tapi tetap, gamelan bukan hiburan sembarangan. Ia dimainkan di momen khusus dan di hadapan raja. Salah satu contohnya adalah Sekaten, rangkaian Grebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Selama tujuh hari tujuh malam, gamelan keraton dibunyikan di depan masjid. Suasananya khidmat, tapi juga ramai.
Puncaknya adalah Grebeg, ketika setiap bregada prajurit keraton menghadirkan bunyi masing-masing. Riuh, padat, dan penuh energi. Dari sinilah kata grebeg diyakini berasal dari gumarebeg ramai bukan main.
Ketika Barat Ikut Nimbrung
Memasuki abad ke-18 dan ke-19, dunia bunyi di Jawa makin kompleks. Alat musik Eropa masuk dan sebagian bahkan dipadukan dengan gamelan. Piano mulai dimainkan di lingkungan istana. Pada 1920-an, eksperimen ini dipelopori oleh Walter Spies, seniman asal Jerman yang lama tinggal di Yogyakarta. Sementara itu, orkestra Eropa berkembang sendiri untuk menghibur komunitas kolonial. Dua dunia bunyi berjalan berdampingan kadang bertemu, kadang berpisah.
Kini, jejak panjang tetabuhan itu bisa kita temui kembali di Museum Sonobudoyo. Di sanalah bunyi-bunyian lama yang dulu hidup dalam ritual dan keramaian, kini beristirahat menunggu untuk kembali didengar, setidaknya lewat cerita.