Tusuk Konde: Benda Kecil yang Menyimpan Cerita Panjang Perempuan Nusantara

Kalau bicara soal busana tradisional, perhatian kita sering berhenti di kain, kebaya, atau perhiasan besar yang mencolok mata. Padahal, ada satu benda kecil yang diam-diam menyimpan cerita panjang lintas budaya: tusuk konde.

Ia mungil. Kadang tersembunyi di balik sanggul. Tapi justru dari situlah identitas, status sosial, hingga nilai estetika perempuan Nusantara disematkan.

Satu Nama, Banyak Wajah

Kalau dicermati, hampir tidak ada tusuk konde yang benar-benar seragam di Indonesia. Setiap daerah punya bentuk, bahan, dan maknanya sendiri seolah rambut perempuan menjadi kanvas tempat budaya menancapkan tanda.

Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, tusuk konde dikenal dengan nama sasukun. Bahannya bukan emas atau perak, melainkan tanduk kerbau. Bentuknya menyerupai garpu, sederhana namun tegas. Kerbau sendiri bukan sekadar hewan ternak, melainkan simbol kekuatan, kerja keras, dan nilai hidup masyarakat setempat.

Berbeda lagi dengan Aceh. Di sana, tusuk konde justru tampil mewah. Ia dibuat dari emas dan dikenal sebagai cucok ok atau cucok sanggoi. Kilauannya bukan sekadar hiasan, tapi penanda martabat, status, dan kemuliaan perempuan Aceh, terutama dalam upacara adat dan pernikahan.

Ketika Tusuk Konde Bisa Menari

Di Jawa Barat, tusuk konde tidak hanya dipakai ia juga “bergerak”. Namanya kembang goyang. Terbuat dari logam dan dihiasi batu-batuan, bentuknya menyerupai bunga dengan tangkai-tangkai kecil berujung spiral. Saat kepala bergerak, kembang itu ikut bergoyang pelan. Ada estetika halus yang hidup dari gerak kecil, seolah kecantikan tidak perlu berisik untuk terlihat.

Sementara itu, di Sumatra Utara, khususnya pada pengantin perempuan suku Mandailing, dikenal tusuk konde bernama jagar-jagar atau jarunjung. Bahannya emas, bentuknya kuntum bunga. Dipasang di sanggul pengantin, tusuk konde ini bukan hanya memperindah, tapi juga melambangkan kesuburan, harapan, dan doa bagi kehidupan rumah tangga yang akan dijalani.

Rambut, Perempuan, dan Identitas

Dari Aceh sampai Nusa Tenggara, dari emas sampai tanduk kerbau, tusuk konde membuktikan satu hal: perhiasan rambut bukan perkara sepele. Ia adalah bahasa visual tentang siapa pemakainya, dari mana ia berasal, dan nilai apa yang dihidupi masyarakatnya. Tusuk konde mungkin kecil dan sering luput dari sorotan. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia bekerja diam-diam, menancap kuat di rambut dan di ingatan budaya kita.

Kalau suatu hari kamu melihat tusuk konde di museum atau upacara adat, jangan buru-buru menganggapnya sekadar aksesoris. Bisa jadi, di balik benda kecil itu, tersimpan cerita panjang tentang perempuan, tradisi, dan cara Nusantara merawat keindahan.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak