Apa yang Dimakan Orang Jawa 1.100 Tahun Lalu? Jawabannya Ternyata Masih Akrab

Kalau kita diminta membayangkan meja makan orang Jawa 1.100 tahun silam, mungkin yang terlintas adalah gambaran serba sederhana, bahkan asing. Padahal, prasasti-prasasti dari abad ke-10 justru menunjukkan hal sebaliknya: menu mereka terdengar cukup akrab di lidah kita hari ini.

Jejak soal makanan dan minuman ini banyak muncul dalam prasasti penetapan sima atau desa perdikan. Dalam prosesi peresmian wilayah tersebut, selalu ada jamuan makan. Dan dari situlah kita tahu: orang Jawa Kuno bukan cuma mencatat tanah dan pajak, tapi juga urusan perut.

Sejarawan dan arkeolog mencatat sejumlah prasasti penting seperti Prasasti Taji (901 M), Panggumulan (902 M), Mantyasih I (907 M), Rukam (907 M), Watukura I (902 M), hingga Linggasuntan (929 M) yang menyebutkan secara rinci apa saja yang disajikan di meja makan kala itu.

Beras, Daging, dan Lauk yang Tak Asing

Dalam Prasasti Taji, beras sudah disebut sebagai makanan pokok dengan nama wras. Dari sini saja kita tahu, nasi sudah menjadi pusat peradaban makan orang Jawa sejak lama. Untuk lauk, pilihannya beragam. Ada hadangan (kerbau) dan hayam (ayam) yang disembelih untuk konsumsi. Dagingnya tak selalu dimakan segar—ada yang diolah menjadi deng asin, semacam dendeng asin, menunjukkan teknik pengawetan sudah dikenal.

Telur pun hadir dalam daftar, disebut sebagai hantiga. Sementara dari sungai dan perairan, masyarakat Jawa Kuno mengenal ikan gurameh (gurami), serta jenis lain yang kini terdengar asing seperti kadiwas dan bilunglung. Untuk minuman, prasasti menyebut tuak, hasil fermentasi dari nira jenu, yang dicatat sebagai tuak len sangka ing jnu. Minuman ini tampaknya bukan sekadar pelepas dahaga, tapi juga bagian dari ritual dan perayaan.

Daging yang Lebih Beragam dari Dugaan

Prasasti Mantyasih I menambah daftar sumber protein hewani. Selain kerbau, disebut pula wok (celeng atau babi hutan), wdus (kambing), hurang (udang), dan telur yang kali ini dinamai hantrini. Daftar ini memberi gambaran bahwa orang Jawa Kuno tidak terpaku pada satu jenis lauk. Mereka memanfaatkan apa yang tersedia di alam darat maupun air dengan cukup fleksibel.

Ikan Asin dan Jejak Rasa yang Bertahan

Sementara itu, Prasasti Panggumulan dan Rukam mencatat daftar ikan asin dan dendeng ikan. Ada kakap, udang, dan ketam. Menariknya, bahan-bahan ini masih bertahan hingga kini di dapur-dapur Jawa, meski dengan bumbu dan cara olah yang terus berkembang. Dari prasasti-prasasti ini, kita belajar satu hal: selera makan orang Jawa hari ini bukan muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil perjalanan panjang, diwariskan lintas generasi, dari jamuan sima 1.100 tahun lalu hingga warung makan di sudut kampung hari ini.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak