Membaca Langit, Mengolah Sawah: Cara Orang Jawa Memahami Musim

Jauh sebelum ramalan cuaca muncul di layar ponsel, para petani Jawa sudah lebih dulu “berlangganan” langit. Mereka membaca gerak matahari, kemunculan bintang, hingga panjang bayangan tubuh sendiri untuk menentukan kapan harus menanam, menunggu hujan, atau bersiap panen.

Pengetahuan ini dikenal sebagai pranoto mongso, sebuah sistem penanggalan tradisional yang menjadi kompas hidup masyarakat agraris Jawa. Sistem ini bukan sekadar kalender, melainkan panduan menyeluruh yang menghubungkan astronomi, cuaca, dan ritme kerja di sawah.

Pranoto mongso kemudian disempurnakan dan dibakukan pada tahun 1855 oleh Sunan Pakubuwono VII dari Keraton Surakarta. Sejak itu, sistem ini menjadi rujukan penting bagi para petani, termasuk masyarakat Bandongan, dalam mengelola pertanian padi sawah.

Dua Belas Musim dalam Setahun

Dalam pranoto mongso, satu tahun terdiri dari 365 hari yang dibagi menjadi 12 mongso atau musim. Uniknya, tiap mongso tidak memiliki jumlah hari yang sama—ada yang singkat, ada pula yang panjang, berkisar antara 23 hingga 43 hari. Penentuan tiap mongso tidak asal-asalan. Munculnya rasi bintang tertentu di langit menjadi penanda utama, disertai tanda-tanda alam lain. Bahkan, panjang bayangan tubuh manusia di siang hari pun bisa menjadi “alat ukur” alami untuk mengetahui pergantian musim.

Setiap mongso dipercaya memiliki watak dan karakter tersendiri, seolah-olah alam pun punya kepribadian.

Watak Dua Belas Mongso

Berikut gambaran ringkas dua belas mongso dalam penanggalan Jawa:

  1. Mongso Koso (Kartiko)
    Berlangsung sekitar akhir Juni hingga awal Agustus. Musim ini identik dengan daun-daun berguguran dan pepohonan meranggas. Wataknya digambarkan penuh belas kasih, meski alam terlihat kering.

  2. Mongso Karo (Puso)
    Musim pendek dengan ciri tanah mulai merekah. Wataknya dianggap ceroboh, mencerminkan kondisi alam yang belum stabil.

  3. Mongso Katelu (Manggasari)
    Ditandai tumbuhan yang mulai menjalar dan tumbuh mengikuti lanjaran. Musim ini berwatak hemat dan penuh perhitungan.

  4. Mongso Kapat (Sitro)
    Air semakin berkurang, sumber-sumber mulai mengering. Wataknya lebih tertata dan berhati-hati.

  5. Mongso Kalimo (Manggakala/Monggokolo)
    Hujan mulai turun. Para petani biasanya menanam tanaman lahan kering. Wataknya cerewet—ibarat alam yang mulai “bicara” lewat hujan.

  6. Mongso Kanem (Noyo)
    Musim panjang saat tanaman mulai berbuah. Wataknya cerdas dan penuh harapan.

  7. Mongso Kapitu (Palguna)
    Matahari bergerak ke utara. Musim ini dipercaya sebagai masa berkurangnya penyakit.

  8. Mongso Kawolu (Wisoko)
    Musim kawin hewan, terutama kucing, sering terjadi. Wataknya cenderung meremehkan.

  9. Mongso Kasongo (Jito)
    Alam terasa hidup—serangga berbunyi, tanah mulai ramai. Wataknya dinilai penuh keberkahan.

  10. Mongso Kasapuluh (Srawono)
    Ditandai masa hewan ternak mulai bunting. Wataknya sensitif dan mudah tersinggung.

  11. Mongso Dhesta (Padrawono)
    Musim anak burung minta disuapi. Wataknya digambarkan licik dan penuh godaan.

  12. Mongso Saddha (Asuji)
    Musim dingin versi Jawa. Air terasa sejuk, alam cenderung seimbang dan sedang-sedang saja.

Ilmu Langit yang Membumi

Pranoto mongso menunjukkan bahwa pengetahuan tradisional Jawa bukan mitos kosong. Ia lahir dari pengamatan panjang terhadap alam, diwariskan lintas generasi, dan terbukti mampu menopang kehidupan pertanian selama ratusan tahun. Bagi orang Jawa, membaca bintang bukan urusan ramalan nasib, melainkan soal kapan menanam padi agar perut tetap terisi.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak