Di Kota Yogyakarta, Mantrijeron bukan sekadar satu penanda. Nama ini hidup dalam empat wujud sekaligus: kampung, jalan, kalurahan, dan kemantren sebutan khas Jogja untuk wilayah setingkat kecamatan. Jarang ada nama tempat yang memikul identitas sebanyak ini, seolah menegaskan bahwa Mantrijeron memang menyimpan sejarah yang tidak sederhana.
Asal-usulnya berangkat dari sebuah kampung prajurit. Mantrijeron adalah kawasan permukiman para abdi dalem prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta yang tergabung dalam Bregada Mantrijero, atau disebut Mantrilebet dalam bahasa Jawa krama. Nama Mantrijero sendiri secara harfiah bermakna “menteri di dalam lingkungan istana”, sebuah istilah yang menunjukkan kedekatan posisi mereka dengan pusat kekuasaan keraton.
Secara geografis, Kampung Mantrijeron berada di sebelah timur Kampung Mangkuyudan dan di utara Kampung Jagakaryan. Nama Mantrijeron mulai resmi digunakan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IV (1814–1823). Sebelumnya, para prajurit Mantrijero bermukim di dalam kawasan benteng keraton, wilayah yang dikenal sebagai Njeron Beteng.
Pada masa Sultan Hamengkubuwana IV inilah terjadi pemindahan besar-besaran permukiman prajurit keraton ke luar benteng, atau Njaban Beteng. Kebijakan ini bukan sekadar urusan tata ruang, melainkan bagian dari dinamika politik dan sosial keraton pada masa itu. Mantrijeron pun lahir sebagai kampung prajurit di luar tembok istana.
Bregada Mantrijero termasuk salah satu dari dua belas bregada prajurit Kraton Yogyakarta yang sempat dibubarkan pada 1942 akibat tekanan politik pemerintahan pendudukan Jepang. Pengalaman pahit itu baru berakhir hampir tiga dekade kemudian.
Pada 1970, Sultan Hamengkubuwana IX mereaktivasi sepuluh bregada prajurit keraton, termasuk Mantrijero. Menariknya, setelah diaktifkan kembali, seragam mereka dikembalikan persis seperti sebelum pembubaran: busana lurik dari kepala hingga kaki, dipadukan dengan baju dalam putih, serta songkok hitam dengan brim horizontal di bagian depan dan brim vertikal di separuh belakangnya.
Dalam catatan sejarah keraton, Mantrijero digolongkan sebagai satuan elite. Pada momen-momen penting seperti penobatan Sultan, dua prajurit Mantrijero bersenjata kelewang ditugaskan sebagai pengawal terdekat Sultan dan Permaisuri. Posisi mereka selalu di kiri dan kanan, menempel pada figur utama prosesi.
Dua prajurit ini berjalan beriringan dengan delapan prajurit Nyutra bersenjata tombak yang berbaris beberapa langkah di depan. Formasi ini juga digunakan pada masa kolonial, termasuk dalam upacara Grebeg ketika pejabat Belanda gubernur Yogyakarta ikut hadir mendampingi Sultan. Dokumentasi visual tentang formasi ini masih bisa dijumpai dalam foto-foto karya Kassian Cephas, terutama dari era pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII.
Mantrijeron, dengan demikian, bukan hanya nama wilayah di selatan Jogja. Ia adalah jejak hidup relasi antara prajurit, keraton, dan kekuasaan yang terus bergema hingga hari ini.