Dalam kehidupan orang Jawa, upacara adat bukan sekadar rangkaian seremonial. Ia adalah ruang perjumpaan antara manusia, alam, dan laku batin. Dari hajatan pernikahan, kehamilan, kelahiran, penanda usia, hingga kematian selalu ada satu unsur yang nyaris tak pernah absen: kembang.
Bunga hadir bukan hanya karena indah atau harum. Dalam tradisi Jawa, bunga dipercaya menyimpan getaran positif, menjadi medium doa, sekaligus bahasa simbolik yang menyampaikan harapan para leluhur. Setiap jenis bunga yang digunakan sebagai uborampe membawa pesan filosofisnya sendiri diam, tetapi penuh makna.
Beberapa bunga bahkan nyaris selalu hadir dalam berbagai ritual. Lima di antaranya adalah kanthil, melati, kenanga, mawar, dan telon. Masing-masing bukan sekadar tanaman hias, melainkan penanda nilai hidup.
Bunga kanthil mengajarkan satu hal sederhana tapi berat: ilmu sejati tidak jatuh dari langit. Orang Jawa mengenalnya lewat pepatah “ngelmu iku kelakone kanthi laku” pengetahuan hanya bisa diraih lewat laku dan ketekunan.
Dalam pernikahan, kanthil juga menjadi simbol keterikatan batin. Kata kanthil sendiri mengandung makna “melekat”, harapan agar cinta pasangan selalu kumanthil, lengket tanpa putus, bahkan ketika hidup tidak selalu manis.
Putih, kecil, dan wangi. Melati melambangkan kesucian niat. Ia sering dimaknai sebagai singkatan dari “melad saka njero ati” segala hal sebaiknya dilakukan dari dalam hati.
Melati mengingatkan bahwa ucapan dan tindakan yang lahir dari hati yang bersih tidak akan melukai. Dalam konteks upacara, melati menjadi doa agar manusia hidup selaras antara niat, kata, dan perbuatan.
Kenanga kerap dimaknai sebagai simbol upaya mencapai keluhuran. Ia juga ditafsirkan sebagai “kenangen ing angga” ingatlah dalam dirimu.
Pesannya sederhana: jangan lupa warisan leluhur. Bukan hanya tradisi dan kesenian, tapi juga nilai hidup, kebijaksanaan, dan spiritualitas yang diwariskan lintas generasi. Dengan terus mengingat dan merawatnya, hidup diharapkan selamat, di dunia maupun di akhirat.
Mawar adalah bunga yang paling akrab di masyarakat. Dalam tafsir Jawa, mawar sering dibaca sebagai “mawi arsa” segala sesuatu harus dilakukan dengan niat yang jelas.
Ada pula tafsir “awar-awar ben tawar” yang mengajarkan ketulusan: menjalani hidup tanpa pamrih, tanpa mengeraskan hati.
Warna mawar pun berbicara. Mawar merah melambangkan ibu asal kehidupan dan rahim kasih. Mawar putih melambangkan bapak. Keduanya berpadu dalam simbol bubur merah putih, doa agar manusia lahir dengan keseimbangan cinta dan raga, serta hidup dalam harmoni alam: gemah ripah loh jinawi.
Berbeda dari yang lain, telon bukan nama satu bunga. Ia adalah rangkaian kanthil, melati, dan mawar yang diikat menjadi satu kesatuan.
Telon dimaknai sebagai telu atau tiga kesempurnaan hidup: cukup harta, cukup ilmu, dan cukup kuasa atas diri sendiri. Tiga bunga inti ini wajib hadir dalam uborampe karena melambangkan keseimbangan lahir dan batin hidup yang tidak timpang.