Alun-alun Utara: Lapangan Pasir, Beringin, dan Jejak Sejarah di Depan Keraton

Kalau orang bilang “semua jalan di Jogja bermuara ke Malioboro”, itu cuma setengah benar. Soalnya, kalau kamu berjalan sedikit lebih jauh ke arah selatan, kamu bakal nemu satu ruang terbuka yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu: Alun-alun Utara alias Alun-alun Lor.

Bayangin aja, sebuah tanah lapang super luas—150 x 150 meter—tepat di depan Keraton Yogyakarta. Lokasinya strategis banget, karena masih satu garis lurus dengan Tugu Golong Gilig sampai Panggung Krapyak. Dari titik nol kilometer aja, kamu sudah bisa lihat hamparan pasirnya yang khas.

Nah, di tengah alun-alun ini berdiri dua pohon beringin legendaris: Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru (atau sekarang disebut Kyai Wijayadaru). Katanya, bibit Dewadaru berasal dari Keraton Majapahit, sementara Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran. Filosofis banget, kan?

Selain itu, ada juga sepasang beringin lain di utara—Kyai Wok dan Kyai Jenggot—dan di selatan—Agung dan Binatur. Jadi jangan heran kalau Alun-alun Utara ini kesannya “dikawal” beringin dari segala sisi.

Bukan Lapangan Biasa

Dulu, jumlah pohon beringin di sini mencapai 64 batang, melambangkan usia Nabi Muhammad SAW menurut hitungan Jawa. Di sela-sela beringin itu, berjajar bangsal-bangsal kecil tempat para bupati menginap ketika hendak menghadap Sultan. Ada juga bangsal pangurakan buat menghukum orang yang melanggar aturan, sampai bangsal balemangu untuk pengadilan agama.

Permukaannya? Jangan bayangkan rumput hijau kayak lapangan bola. Alun-alun Utara dulunya ditutup pasir halus, biar lebih mudah dialiri air dari selokan di sekelilingnya. Dan karena ini bagian dari keraton, tempat ini dulunya sakral banget. Masuk ke alun-alun pun ada aturannya: nggak boleh pakai alas kaki, nggak boleh bawa kendaraan, bahkan nggak boleh pakai payung. Semua demi penghormatan pada Sultan.

Fungsi yang Terus Bergeser

Di masa lalu, Alun-alun Utara jadi arena latihan prajurit, tempat rakyat melakukan tapa pepe (duduk berdiam diri di bawah terik matahari, di antara dua beringin, buat menuntut keadilan langsung pada Sultan), sampai lokasi upacara besar.

Tapi, seiring waktu, kesakralannya mulai luntur. Alun-alun sempat jadi tempat parkir wisata, arena rekreasi, panggung hiburan, bahkan pasar rakyat Sekaten. Dari tempat sakral, berubah jadi ruang publik yang super fleksibel.

Makna Pasir dan Revitalisasi

Beberapa tahun terakhir, keraton mencoba mengembalikan makna alun-alun. Pada 2020, dipasang pagar pembatas. Lalu di 2022, alun-alun ditutup lagi dengan pasir lembut.

Kenapa pasir? Menurut laman resmi kratonjogja.id, pasir itu melambangkan “laut tak berpantai”, simbol Tuhan Yang Maha Tak Terhingga. Jadi, kalau dilihat utuh, alun-alun dengan beringin di tengahnya menggambarkan manunggaling kawula Gusti: kesatuan rakyat dan penguasa, manusia dengan Tuhannya.

Proses revitalisasi ini juga jadi bagian dari upaya menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Warisan Dunia. Apalagi, waktu pengerukan, ditemukan banyak sampah—dari sisa tenda, beton, sampai spanduk tahun 1983. Akhirnya pasir lama diganti dengan pasir baru dari tanah Kasultanan di Bantul.

Kini, Alun-alun Utara bukan cuma ruang terbuka di depan keraton, tapi juga sebuah simbol yang terus dirawat agar tetap relevan dengan zaman. Jadi, kalau kamu main ke Jogja, coba sempatkan mampir ke sini. Berdiri di antara dua beringin, rasakan hembusan angin di atas pasirnya, siapa tahu kamu bisa merasakan sedikit “getar” sejarah yang masih tersisa.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak