Waktu, Naga, dan Secangkir Makna: Menyibak Dunia Sengkalan ala Jawa

Kita mungkin terbiasa melihat waktu sebagai deretan angka di kalender—sederhana, to the point, dan kadang bikin panik saat deadline sudah lewat. Tapi di tanah Jawa, waktu bukan cuma perkara tanggal. Ia bisa berupa kalimat puitis, filosofi hidup, bahkan ukiran naga yang penuh makna. Namanya: Sengkalan.

Sengkalan adalah seni menyampaikan waktu dengan cara yang... tidak biasa. Ia bukan cuma angka. Ia adalah rangkaian kata yang mewakili angka, yang jika dibaca terbalik (iya, dibalik), maka akan ketahuan angka tahun yang dimaksud. Misalnya, kalimat legendaris Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menandai runtuhnya Majapahit. Kata “sirna” berarti 0, “ilang” juga 0, “kerta” itu 4, dan “bumi” berarti 1. Dibalik? Jadi 1400. Tapi bukan Masehi, ya. Itu tahun Çaka. Kalau dikonversi, tahun segitu jatuh di 1478 Masehi.

Selain mencatat sejarah, sengkalan ini juga sarat makna. Sirna Ilang Kertaning Bumi bisa dimaknai sebagai “lenyapnya kemakmuran dari bumi”. Jadi, bukan cuma bilang “ini tahun 1400 Çaka”, tapi juga bilang “ini momen pahit dalam sejarah”. Puitis sekaligus pedih.

Dari Sansekerta ke Jawa, dari Teks ke Patung

Sengkalan ternyata sudah eksis sejak dulu banget. Prasasti Canggal yang dibuat di Gunung Wukir, tahun 654 Çaka (atau 732 Masehi), sudah mencatat waktu pakai kalimat Syruti Indrya Rasa. Bahasa Sansekerta, tentu saja. Tapi lama-lama, sengkalan ikut beradaptasi. Dari yang awalnya Sansekerta banget, lalu ikut “njawani” saat budaya Jawa mengambil alih.

Lalu ketika Islam masuk, kalender Çaka mulai bersandingan dengan kalender Hijriah. Sultan Agung—raja yang kita kenal suka menyatukan dua hal berbeda—menciptakan sistem kalender Jawa yang memadukan keduanya. Sejak saat itu, sengkalan pun pecah jadi dua jenis: suryasengkala (berbasis matahari) dan candrasengkala (berbasis bulan).

Yang menarik, sengkalan bukan cuma urusan kata. Ada juga yang visual. Namanya sengkalan memet. Ini biasanya dalam bentuk patung atau relief, yang mengandung bilangan tahun secara simbolik. Misalnya, dua naga yang saling membelakangi dengan ekor terbelit di Regol Kemagangan dan Gadhung Mlathi. Itu bukan dekorasi iseng. Itu sengkalan yang bunyinya Dwi Naga Rasa Tunggal—dua naga bersatu rasa. Artinya? Tahun 1756 Masehi, atau 1682 dalam tahun Jawa. Tahun keraton Yogyakarta resmi dihuni.

Sengkalan memet memang butuh jurus tafsir tingkat tinggi. Soalnya nggak ada aturan bakunya. Jadi, tanpa “keterangan teks” atau pasangan sengkalan lamba-nya, kita cuma bisa menebak-nebak. Mungkin itu sebabnya disebut “memet”—alias rumit.

Bukan Sekadar Tanggal, Tapi Cerita

Uniknya lagi, sengkalan bisa muncul di mana-mana: di wayang, kitab kuno, senjata, bahkan bangunan modern. Wayang Cakil karya Sultan Agung, misalnya, mengandung sengkalan Tangan Butha Tata Jalma—tangan raksasa menata manusia—yang menunjuk pada tahun 1552 Jawa.

Atau, coba tengok meriam zaman Sultan HB II yang ditandai dengan sengkalan Swaraning Dahana Sabdaning Ratu. Artinya kurang lebih: “Dentuman api adalah titah raja”. Tahun? 1737 Jawa. Keren, kan?

Sampai sekarang pun, tradisi ini belum benar-benar punah. Museum Sri Sultan HB IX punya sengkalan memet berupa naga dan lambang Kesultanan. Bacanya? Kaheksi Nagaraja Manjing Kadhaton, tahun 1992 Masehi—tahun diresmikannya museum tersebut.

Ada juga sengkalan untuk menandai renovasi Bangsal Trajumas setelah gempa. Candrasengkala-nya Sumunar Hakarya Haruming Dhatulaya, artinya “sorot cahaya mewujudkan megahnya keraton”, untuk tahun 1943 Jawa. Sedangkan suryasengkala-nya berbunyi Hanggara Sampurna Risaking Traju, menunjuk tahun 2009 M.

Waktu yang Bercerita, Bukan Sekadar Berlalu

Buat orang Jawa, waktu bukan sekadar garis lurus yang monoton. Waktu itu punya karakter, punya nilai, bahkan punya rasa. Itulah kenapa mereka membingkainya lewat sengkalan—karena angka saja tidak cukup.

Lewat sengkalan, sebuah peristiwa bisa dikenang bukan cuma sebagai “kejadian pada tahun sekian”, tapi juga sebagai “momen yang begini rasanya”. Baik lewat kata-kata yang penuh simbol, maupun lewat patung naga yang diam-diam menyimpan cerita.

Dan mungkin itu pula yang bisa kita pelajari dari budaya ini: bahwa waktu bukan sekadar angka yang kita kejar-kejar. Tapi juga ruang untuk memberi makna. Ruang untuk mengingat, meresapi, dan—siapa tahu—berhenti sejenak sebelum lanjut berlari lagi.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak