Aksara Jawa dan Tradisi Tulis di Nusantara: Sejarah dan Makna di Baliknya

Aksara Jawa dan Tradisi Tulis di Nusantara: Sejarah dan Makna di Baliknya

Sejak masa Hindu-Buddha, tradisi tulis berkembang pesat di Nusantara. Dengan diperkenalkannya aksara, masyarakat mulai mencatat dan menyimpan beragam informasi dalam bentuk tulisan. Tradisi tulis ini tercermin dari sekitar seribu naskah yang tercipta pada masa itu, dengan berbagai genre kesusastraan, seperti tutur (kitab keagamaan), castra (kitab hukum), wiracarita (cerita kepahlawanan), serta kitab-kitab lainnya yang mengandung ajaran moral, sejarah, dan keagamaan.

Salah satu aksara yang menonjol dari masa tersebut adalah Aksara Jawa, yang juga dikenal dengan nama Hanacaraka, Carakan, atau Dentawyanjana. Aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi yang berasal dari India, yang kemudian berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga abad ke-8. Aksara Pallawa lalu mengalami adaptasi lokal dan berubah menjadi aksara Kawi pada periode Hindu-Buddha di Indonesia sekitar abad ke-8 hingga ke-15. Aksara Kawi inilah yang menjadi cikal bakal Aksara Jawa.

Evolusi Aksara Jawa dalam Pengaruh Budaya

Perkembangan aksara ini tidak lepas dari pengaruh budaya dan agama yang datang ke Nusantara. Aksara Kawi mengalami perubahan menjadi Aksara Jawa pada peralihan abad ke-14 hingga abad ke-15, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke Jawa. Aksara Jawa kemudian menjadi alat komunikasi sehari-hari di wilayah Jawa, terutama pada periode abad ke-15 hingga awal abad ke-20.

Kisah Aji Saka dalam Serat Aji Saka

Sejarah Aksara Jawa juga terkait erat dengan kisah Aji Saka, yang termuat dalam Serat Aji Saka, sebuah manuskrip anonim yang mengisahkan asal-usul aksara ini. Dalam cerita tersebut, Aji Saka memerintahkan dua pengikutnya, Sembada dan Dora, untuk menjaga keris pusaka dan perhiasan di Pulau Majeti. Namun, keduanya akhirnya bertikai karena kesetiaan pada amanat yang diberikan oleh Aji Saka, yang mengakibatkan kematian keduanya.

Mendengar kematian Sembada dan Dora, Aji Saka kemudian menciptakan Sastra Sarimbangan, atau dikenal juga sebagai Sastra Dua Puluh. Sastra ini terdiri dari empat rangkaian yang mencakup lima aksara masing-masing, yakni:

  • Ha-na-ca-ra-ka
  • Da-ta-sa-wa-la
  • Pa-dha-ja-ya-nya
  • Ma-ga-ba-tha-nga

Kisah ini memberikan filosofi yang dalam terhadap Aksara Jawa, yang tidak hanya berfungsi sebagai simbol tulisan, tetapi juga sarat makna tentang kesetiaan, pengorbanan, dan nilai luhur lainnya.

Pentingnya Pelestarian Aksara Jawa

Sebagai salah satu aksara tradisional Nusantara, pelestarian Aksara Jawa menjadi penting untuk menjaga identitas budaya Indonesia. Dengan memahami sejarah dan makna di baliknya, generasi muda dapat lebih menghargai dan melestarikan kekayaan budaya ini. Hingga kini, upaya pelestarian Aksara Jawa dilakukan melalui berbagai inisiatif, seperti pembelajaran di sekolah, penerbitan buku, dan pelatihan menulis Aksara Jawa di berbagai komunitas.

Kesimpulan

Aksara Jawa adalah bagian penting dari warisan budaya Nusantara yang kaya dan sarat nilai historis. Tradisi tulis yang berkembang sejak masa Hindu-Buddha hingga saat ini telah menjadi saksi perjalanan budaya Indonesia, yang patut kita hargai dan lestarikan. Melalui Aksara Jawa, kita tidak hanya belajar tentang seni menulis, tetapi juga memahami filosofi dan cerita yang terkandung di dalamnya.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak