Kalau kamu pernah jalan-jalan ke Malioboro dan merasa belum lengkap kalau belum mampir ke Pasar Beringharjo, kamu bukan sendirian. Pasar ini memang sudah seperti jantungnya Jogja—denyut ekonomi, sejarah, dan budaya semua berdesakan di sana. Tapi siapa sangka, sebelum jadi lautan kain batik dan aroma rempah-rempah, tempat ini dulunya cuma hutan beringin?
Cerita bermula dari tahun 1758, ketika Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat resmi berdiri. Di sebelah selatannya, ada kawasan yang masih berupa hutan beringin. Nah, warga sekitar mulai memanfaatkan tempat ini untuk jual beli. Logis juga sih, wong keratonnya baru berdiri, pasti butuh tempat belanja buat rakyat jelata dan bangsawan yang lagi cari sayur atau jajanan sore.
Waktu itu namanya belum "Beringharjo", tapi cukup disebut Pasar Gedhe—karena memang gede dan makin ramai. Baru pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, tepatnya 24 Maret 1929, nama "Beringharjo" dikasih resmi. "Bering" dari beringin, "harjo" artinya kesejahteraan. Harapannya, tempat ini bisa jadi sumber rejeki dan ketenteraman bagi warga Jogja. Filosofinya dalam, tapi tetap membumi.
Yang bikin Pasar Beringharjo beda dari pasar lainnya, bukan cuma sejarahnya, tapi juga penampilannya. Gaya bangunannya itu lho—perpaduan Jawa dan kolonial Belanda. Mulai dibangun secara serius pada 1925 oleh perusahaan beton Hindia Belanda, pasar ini tampil elegan tapi tetap akrab. Bukan pasar biasa, tapi pasar yang tahu cara tampil gaya.
Dan kalau bicara isi pasar, jangan ditanya. Mulai dari bahan dapur sampai kain batik yang bisa bikin kamu kalap. Di sini, batik bukan cuma kain, tapi cerita. Ada batik tulis, batik cap, batik kombinasi, dari berbagai penjuru Nusantara. Dan kalau lapar, tinggal turun ke lantai bawah—dari pecel sampai jenang, semua ada.
Pasar Beringharjo itu kayak mesin waktu. Kamu bisa belanja, tapi sambil menyelami jejak sejarah kota ini. Pasar ini jadi saksi zaman—dari era kerajaan, kolonial, sampai kemerdekaan. Dia bagian penting dari Catur Gatra Tunggal, konsep tata kota ala Kesultanan yang menempatkan pasar, keraton, masjid, dan alun-alun sebagai elemen utama kehidupan masyarakat.
Letaknya yang strategis di ujung selatan Malioboro bikin pasar ini enggak pernah sepi. Turis-turis asing pun suka nyempil di antara ibu-ibu yang lagi tawar-menawar. Ada sesuatu yang magis dari tempat ini—mungkin karena ia bukan sekadar tempat jual beli, tapi ruang hidup yang menyimpan denyut kota.
Hari ini, kamu mungkin enggak akan nemu lagi hutan beringin di sana. Tapi roh beringin itu masih terasa: keteduhan, kekuatan, dan semacam rasa "dinaungi" oleh sejarah yang panjang. Pasar Beringharjo bukan cuma soal transaksi, tapi tentang bagaimana sebuah ruang bisa jadi perantara antara masa lalu dan masa kini.
Dan yang paling penting: di tengah semua perubahan, ia tetap hidup—nyata, ramai, dan selalu punya cerita.