Wayang Wahyu adalah salah satu bentuk pewartaan agama yang unik di Indonesia. Menggabungkan seni tradisional wayang kulit dengan nilai-nilai ajaran Kristiani, Wayang Wahyu lahir sebagai hasil kreativitas umat Katolik dalam menyampaikan pesan agama. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai asal-usul, perkembangan, dan pengaruh Wayang Wahyu, sebuah media budaya yang terus berkembang hingga kini.
Asal-Usul Wayang Wahyu
Wayang Wahyu berawal pada malam bulan Oktober 1957, ketika M.M. Atmowiyono, seorang guru di Sekolah Guru Bantu Il Surakarta, mementaskan sebuah lakon wayang yang berbeda dari biasanya. Lakon yang dipentaskan berjudul "Dawud Mendapat Wahyu Keraton" atau "Daud Mendapat Wahyu Akan Menjadi Raja", yang diambil dari cerita Kitab Suci Perjanjian Lama, bukan dari Mahabharata seperti pementasan wayang tradisional pada umumnya. Kisah ini menjadi titik tolak munculnya ide untuk menggabungkan wayang sebagai media pewartaan agama.
Salah satu penonton pada malam itu, Bruder Timotheus L. Wignjosoebroto FIC, merasa terinspirasi dengan pementasan tersebut. Ia melihat potensi besar dari wayang untuk menjadi sarana menyampaikan firman Tuhan kepada umat Katolik, terutama di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang sangat mencintai seni wayang. Bruder Wignjo pun memutuskan untuk mengembangkan ide ini lebih lanjut.
Pada tahun 1959, Bruder Wignjo membentuk sebuah tim yang terdiri dari M.M. Atmowiyono, Marosudirdjo, A. Suradi, dan Roosradi untuk merumuskan konsep awal Wayang Wahyu. Mereka mulai menyusun bentuk wayang ini dengan mengambil unsur-unsur ajaran Katolik, serta menggambarkan tokoh-tokoh dan peristiwa dalam Kitab Suci. Pada awalnya, wayang ini dinamakan Wayang Katolik sebelum akhirnya berganti menjadi Wayang Wahyu berdasarkan saran dari PC Soetopranito SJ.
Pementasan Pertama dan Respons Gereja
Pada 2 Februari 1960, Wayang Wahyu dipentaskan untuk pertama kalinya di Gedung Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri Purbayan, Solo. Pada pementasan pertama ini, tiga lakon yang dipentaskan adalah "Malaikat Mbalela", "Manusia Pertama Jatuh dalam Dosa", dan "Kelahiran Tuhan Yesus Kristus". Pementasan ini mendapat sambutan yang sangat baik dari umat Katolik, terutama di wilayah Vikariat Apostolik Semarang.
Beberapa bulan setelah pementasan pertama, Wayang Wahyu mendapat kesempatan untuk tampil di depan Uskup Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Beliau memberikan apresiasi atas ide pewartaan melalui wayang dan menyarankan agar Wayang Wahyu menjalani perbaikan serta percobaan lebih lanjut sebelum mendapatkan pengakuan resmi atau Imprimatur dari Gereja. Imprimatur adalah izin dari otoritas Gereja untuk memastikan bahwa sebuah karya sesuai dengan ajaran Gereja dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip iman Katolik.
Setelah mendapatkan masukan dari Uskup Soegijapranata, Bruder Wignjo dan timnya terus melakukan perbaikan pada Wayang Wahyu. Wayang yang awalnya terbuat dari karton atau kardus, kini mulai dibuat dari bahan kulit yang lebih awet dan bernilai seni tinggi. Selain itu, tim juga menambah variasi lakon dalam pementasan Wayang Wahyu untuk mencakup lebih banyak cerita dari Kitab Suci.
Koleksi Wayang Wahyu juga dapat kamu temukan di Gedung Thomas Karsten dan Gedung Hasta Brata Museum Sonobudoyo. Yuk berkunjung ke Museum Sonobudoyo!
Stanley
09 Jan 2025 18:50 WIB Yang bikin artikel ini namanya siapa sama tahun dibikinnya taun bro butuh sebagai daftar pustaka