FKY 2020 : Program Pameran Seni Rupa "Akar Hening di Tengah Bising"

21 - 26 September 2020 | Museum Sonobudoyo | www.fkymulanira.com
 
“Di kota ini sudah terlalu banyak perayaan, tapi minim produksi pengetahuan”.
 
Ungkap seseorang yang cukup sering saya dengarkan tiap ujarannya. Ungkapan itu hadir di sela-sela perbincangan santai yang tengah berlangsung seputar peristiwa budaya yang banyak berlangsung di kota ini, kebanyakan berupa festival. Sekitar lima tahun silam, hingga kini tidak pernah hilang.
 

Nampaknya memang ada benarnya. Lantas, apa kita harus menyingkir dan bergerak ke tepian, pergi sejauh mungkin untuk sebisa mungkin steril dari segala tetek-bengek penyelenggaraan acara publik yang terjadi di kota ini? Atau setidaknya tidak menambah yang baru? Adakah jalan tengah yang mendamaikan keduanya, berupa kerja produksi pengetahuan yang berjalan seiring dengan kerja produksi festival? Singkatnya, bisakah penyelenggaraan festival menjadi ruang dalam produksi pengetahuan?

Sebelum mencari jawab atas pertanyaan itu, kita bisa melihat kembali latar belakang dari ujaran tersebut. Ujaran itu masuk akal, mengingat bahwa Jogja semakin hari, semakin ramai dengan acara kebudayaan. Hampir semua ragam festival bisa kita temukan, dari tema-tema urban hingga agraris, lahir dari beragam medium seni dan komunitas. Puncak kebisingan dari hadirnya acara-acara ini terutama di paruh kedua tiap tahunnya. Tepat di bulan-bulan seperti ini, Agustus, berbagai kelompok penyelenggara sedang sibuk- sibuknya.

Kesibukan kota ini bertambah dengan kehadiran puncak wisata yang terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Ramai, karena berbagai ruas jalan di kota penuh dengan kendaraan. Walaupun di sisi lain, rupanya kota ini memang sudah dirancang sedemikian rupa agar ramah dengan segala macam keterhubungan, dan bersiap untuk dibuka seluasnya dalam pergaulan dunia. Menjadi kota kosmopolit dengan mengedepankan the meeting industry. Sudah sejak beberapa tahun belakangan, pembangunan kota ini semakin digenjot ke arah tersebut. Sehingga situasinya tidak hanya ramai, tetapi menjadi bising.

1. Judul ini muncul ketika tim berbincang dengan Landung Simatupang. 

Kebisingan justru bertambah ketika serbuan informasi digital masuk ke ruang-ruang yang sangat privat, saat ia bisa hadir melalui genggaman. Jika lupa sadar, kita bisa terhanyut dalam luapan informasi yang arusnya sangat deras. Sejak pandemi, kebisingan ini semakin didesakkan lebih dalam di tengah keseharian kita. Belum lagi ketika kita membahas soal perubahan gestur sosial sebagai respon atas pandemi. Tak hanya gestur sosial yang berubah, namun penilaian kita soal mana yang baik dan buruk kini bergeser. Singkatnya, etika sosial pun sedang dibongkar pasang. Teknologi hidup juga sedang didekonstruksi.

Pertanyaannya kini berulang. Apakah kita harus menyingkir ke tepian, untuk menghindar dari kebisingan dan mendapat ketenangan? Apakah kita harus menjadi pertapa dan menutup semua akses yang menghubungkan kita dengan urbanitas yang bising? Barangkali ada sebagian dari kita yang memiliki kesempatan dan keistimewaan untuk mengambil jalan itu. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memilki ruang itu? Atau pertanyaannya justru dibalik, di tengah kebisingan itu, bagaimana kita menciptakan ruang hening tersebut?

“Sebentar ke Alam Soenji – Senjap, 

Sekedar memperboelat Boedi genap, 

Doenia getar, 

Boetoeh sadar.”

Soal kegelisahan dalam menciptakan ruang hening tersebut, ternyata juga sudah muncul sejak berpuluh tahun silam. Ki Tjokro Soeharto dalam artikel berjudul Among dan Nafas juga mengelaborasi upaya tersebut dalam kaitannya dengan pendidikan yang dikembangan oleh Taman Siswa. Di situ ia menulis bahwa pekerjaan guru ialah Among, yang didahului dengan pentingnya pengelolaan nafas dalam prosesnya, baik untuk dipraktikkan oleh guru maupun siswanya. Penjelasannya ini diperkuat dengan keberadaan nafas di posisi yang paling mendasar. Baginya, nafas adalah bagian dari hawa yang menjadi syarat kehidupan, agar jantung manusia senantiasa berdetak dan mampu mengaktifkan panca – inderanya. Tarikan nafas adalah prasyarat dari munculnya kebudayaan. Sebagai ‘’pokok-pangkal, mendjadi benih akan hidoep makhluk didoenia fana ini.’

2. Ki Tjokro Soeharto., “Among dan Nafas”, Madjalah Poesara, Djilid X. No. 9/11, November 1940, hal. 199. 

“Segenap machloek poen soedah tentoe ta’ akan dapat hidoep langsoeng djika ditinggalkan oleh “iboe-hawa,...”

Baginya, manusia terdiri atas empat bahan, yakni bumi, api, air dan hawa. Di antara bahan-bahan tersebut, ‘’HAWAlah jang paling atas letaknja. Jang hening wataknja.’

“...jang masoek adalah HIDOEP, dan jang keloear adalah FIIL. BOEAH-HIDOEP atau BOEDAJA.”

Dengan menggarisbawahi tarikan nafas sebagai prasyarat dari kebudayaan, salah satu guru dari Taman Siswa ini menunjukkan bahwa pendidikan ialah perihal kebudayaan. Bahwa kebudayaan juga soal mengelola dari hal besar, seperti ‘rakjat’ dan ‘berdjoeang’ yang pada saat itu menjadi spirit jaman, hingga mengelola hal yang terlihat sepele, hampir tidak disadari dan mendasar, yakni perihal nafas.

Jika kita tarik dalam pembahasan soal kebisingan hari-hari ini, maka akar hening ialah nafas. Nafas yang dimaksud di sini ialah pokok perhatian kita pada hal yang tidak pernah nampak, tidak ada perwujudan fisiknya, tetapi ia selalu ada, hidup dan menciptakan kehidupan. Ia tenang, tetapi tidak berhenti bekerja. Sama halnya dengan kerja kebudayaan. Kerja-kerja kebudayaan ialah akarnya. Ia lah yang menopang segala macam kebudayaan yang ada hari-hari ini. Ia lah yang menjadi syarat atas lahirnya berbagai ragam siasat manusia dalam mengatasi segala macam tantangan dan keterbatasan yang harus dihadapi dalam hidup. Bagaiamana kita menjelaskan kerja kebudayaan hari-hari ini? Atau, estetika apa saja yang bisa kita munculkan di tengah kebisingan ini?

Di tengah bising, kita mempunyai agenda bersama untuk menciptakan ruang hening dengan mengupayakan sebuah penyelenggaraan festival yang membumi. Masa ini adalah momen, karena bertepatan dengan perubahan yang membawa tantangan tersendiri, dari festival kesenian menjadi festival kebudayaan di tahun yang kedua. Di samping itu, tahun 2020 ini juga hadir dengan tantangan yang muncul karena pandemi. Di atas etika yang sedang dibongkar pasang, bagaimana estetika hadir menawarkan teknologi hidup yang kita perlukan saat ini? Atau setidaknya ia hadir untuk menawarkan cara pandang dalam menyusun ulang teknologi hidup?

Jika menengok dari pemahaman yang sudah disampaikan melalui Among dan Nafas di atas, setidaknya kita diingatkan untuk selalu menyadari nafas yang masuk ke dalam tubuh dan menggerakkan kita. Setidaknya kita perlu menyadari bahwa nafas yang mendorong kerja-kerja kebudayaan kita bukanlah semata nafas pragmatis teknis yang mengejar target-target penyelesaian kerja administratif berdasar pesanan.

Selebihnya, kita tentu merawat harapan, agar kerja kebudayaan yang sedang kita upayakan hari-hari ini bisa memancing dan memunculkan estetika yang mampu melahirkan daya dalam menyusun ulang teknologi hidup, yang sudah terlanjur diisi dengan berbagai agenda bising, yang kadang membuat kita lupa bernafas.

 

Teks ini disusun oleh: Hendra Himawan, Irfanuddien Ghozali, Lisistrata Lusandiana, Prihatmoko Moki.

 

Nama-Nama Seniman:

  • Abdi Setiawan
  • Aik Vela Pratisca & Ficky Tri Sanjaya
  • Alie Gopal
  • Ampun Sutrisno
  • Andreas Siagian - Dale Gorfinkel (AU)
  • Bioscil
  • Chandra Rosellini
  • Chrisna Fernand
  • FA Indun Hasmanto
  • Fitri DK
  • Galih Johar
  • Handiwirman Saputra
  • Kokok P Sancoko
  • Lintang Radittya x Kunto Aji x Landung Simatupang
  • Marten Bayu Aji
  • Nanik Indarti
  • Popok Tri Wahyudi
  • Pupuk Daru Purnomo
  • RU Collective & Friends
  • S. Teddy Darmawan
  • Sugeng Oetomo
  • Tedjo Badut
  • Terra Bajraghosa
  • The Freak Show Men
  • Tim Pewarta Foto Indonesia (PFI) Yogyakarta
  • Tim Pos Dukungan Gugus Tugas Covid-19 BPBD DIY
  • Timoteus Anggawan Kusno
  • Widi Pangestu
  • Wimo Ambala Bayang
  • Wisnu Auri
  • Wok The Rock
  • Yuli Prayitno
  • Yuvita Dwi Raharti

 

Sumber: www.fkymulanira.com/pameran
 

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak