Ngabekten: Tradisi Syawal yang Bikin Lutut Lemas dan Hati Luluh di Jogja

Syawal di Jogja bukan hanya tentang ketupat dan opor, atau hiruk-pikuk salam-salaman sambil sesekali mengecek saldo THR. Ada satu tradisi yang diam-diam memegang kendali atas haru dan rindu banyak orang: Ngabekten. Satu kata, lima suku kata, dan sejuta rasa. Diucapkan perlahan, dijalani dengan lutut yang nyaris gemetar, dan diakhiri dengan pelukan yang kadang lebih menyembuhkan dari obat warung.

Ngabekten itu semacam ritual permohonan maaf, tapi dikemas dengan adat Jawa yang sarat makna. Di Jogja, ini bukan sekadar sungkem. Ini adalah bentuk paling konkret dari hormat, cinta, dan pengakuan akan semua salah yang—barangkali—tak pernah sempat terucap selama sebelas bulan ke belakang. Karena tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan kata "maaf". Kadang perlu ditambahi sembah dan sepasang mata basah.

Biasanya, momen ini terjadi setelah salat Id atau ketika keluarga besar sudah komplit berkumpul di rumah simbah. Satu per satu, anak-anak datang mendekat. Jalan jongkok, mata tertunduk. Tangan kanan menyembah, tangan kiri menyeka peluh. Kalimat sakral pun meluncur: "Nyuwun pangapunten lahir lan batin." Sederhana, tapi mampu meluruhkan ego yang selama ini diam-diam bersarang di dada. Lalu apa yang terjadi? Tangis pecah. Simbah memeluk cucu. Bapak dan ibu tak kuasa membendung air mata. Kadang, ada jeda sunyi, di mana hanya terdengar suara tisu digesek pelan atau isak tertahan. Tapi setelah itu, tawa kembali merekah. Karena setelah maaf, yang datang adalah damai.

Ngabekten juga tak lengkap tanpa suguhan. Setelah selesai sungkem, biasanya dapur langsung beraksi. Ketupat disuwir, opor disendok, sambal goreng krecek yang pedasnya nyelusup sampai ke ubun-ubun jadi rebutan. Anak-anak berlarian, remaja sibuk update Instagram, orang tua ngobrol ngalor-ngidul sambil sesekali nostalgia tentang masa muda yang katanya lebih asyik dari sekarang. Namun sayangnya, di tengah gempuran zaman dan kecepatan hidup yang makin tak ramah jeda, tradisi ini perlahan-lahan seperti mulai digerus. Anak-anak muda kadang malas ikut, merasa canggung atau bahkan menganggap Ngabekten sekadar formalitas tahunan. Padahal, di balik lutut yang bersimpuh dan tangan yang bersalaman, ada upaya untuk menyambung yang renggang, dan menghangatkan yang mulai dingin.

Maka dari itu, Ngabekten bukan sekadar budaya, tapi pengingat. Bahwa dalam hidup ini, sepenting-pentingnya pencapaian, tetap ada ruang yang harus kita isi dengan maaf, hormat, dan pelukan hangat. Dan Jogja, dengan segala kelembutannya, masih menjaga tradisi ini seperti menjaga rahasia yang paling indah. Karena di Jogja, Syawal bukan Syawal kalau belum Ngabekten. Dan belum lebaran sungguhan kalau belum sungkem ke simbah dengan lutut gemetar dan suara bergetar.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak