Kalender, buat sebagian orang, hanyalah deretan kotak berangka yang menandai hari gajian dan tanggal merah. Tapi bagi orang Jawa, kalender adalah pusaran waktu yang kompleks dan penuh filosofi. Di Museum Sonobudoyo, koleksi penanggalan tradisional Jawa tak hanya jadi pajangan dinding, melainkan jendela yang membuka cara pandang leluhur terhadap waktu, alam semesta, dan manusia.
Penanggalan Jawa bukan sistem yang linier seperti kalender Gregorian. Ia adalah sistem yang hidup, berlapis, dan saling bertaut—ibarat semesta yang berputar dalam harmoni. Ada tujuh hari dalam seminggu (Senin sampai Minggu), tapi juga ada lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) yang berjalan beriringan. Gabungan keduanya menciptakan siklus 35 hari, yang disebut weton. Dalam weton inilah, hidup seseorang dipercaya punya pola dan karakter tertentu, seperti DNA spiritual yang melekat sejak lahir.
Sonobudoyo merawat kalender-kalender tua, manuskrip primbon, dan alat bantu hitung waktu tradisional sebagai bagian dari koleksi kebudayaannya. Dari sana, kita bisa melihat bahwa waktu bagi masyarakat Jawa bukan sekadar durasi, tapi ruang untuk membaca pertanda. Hari baik untuk menikah, memulai usaha, pindah rumah, bahkan mencangkul sawah—semuanya bisa dihitung dan ditentukan dari penanggalan ini. Bukan mistis, tapi sistematis. Ada logika kosmis di dalamnya.
Kalender Jawa juga memadukan unsur Hindu-Buddha, Islam, dan kepercayaan lokal. Maka tak heran jika dalam satu lembar kalender bisa kita temukan peringatan hari lahir Nabi Muhammad berdampingan dengan Hari Raya Nyepi dan peringatan Jumenengan Sultan. Sinkretisme ini adalah cermin dari pandangan dunia Jawa yang lentur dan akomodatif. Yang penting harmoni, bukan dominasi.
Di ruang pamer Sonobudoyo, pengunjung bisa melihat langsung manuskrip kuno bertuliskan penanggalan dalam aksara Jawa, lengkap dengan ilustrasi perbintangan dan simbol-simbol alam. Beberapa masih ditulis di atas daun lontar, yang lain di atas kertas daluang dan Eropa. Ada juga jam matahari tradisional dan alat penunjuk waktu berbasis bayangan, menandai betapa waktu dulu bukan ditentukan oleh mesin, tapi oleh gerak alam.
Dalam kalender Jawa, tidak ada yang benar-benar kebetulan. Semuanya terkait satu sama lain, saling mempengaruhi. Hidup bukan hanya tentang apa dan kapan, tapi juga tentang bagaimana dan mengapa. Pandangan ini mungkin terdengar ruwet bagi generasi digital yang akrab dengan Google Calendar, tapi justru di situ keindahannya: bahwa waktu bisa dimaknai, bukan cuma dijalani.
Sonobudoyo mengajak kita menengok ulang cara leluhur memahami hidup. Lewat koleksi kalender dan penanggalan tradisionalnya, kita diajak untuk tidak sekadar menghitung hari, tapi juga merasakannya. Karena bagi orang Jawa, waktu bukanlah musuh yang harus dikejar. Ia adalah teman seperjalanan yang harus dipahami dan dihormati.