Kalau kamu lagi jalan-jalan ke Tugu Jogja, coba deh belok dikit ke barat, nyusuri Jalan Pangeran Diponegoro. Di situ ada sebuah pasar yang usianya bisa bikin kamu merasa muda—namanya Pasar Kranggan. Mungkin dari luar kelihatan biasa aja, tapi percayalah, tempat ini bukan sekadar deretan kios jualan. Ini adalah saksi sejarah yang diam-diam menyimpan banyak cerita Jogja dari dulu hingga sekarang.
Jangan kira nama “Kranggan” muncul begitu saja kayak nama akun Instagram. Nama ini ternyata punya akar sejarah yang dalam. Konon, “Kranggan” diambil dari gelar kebangsawanan Raden Tumenggung Rangga Prawirasantika, pejabat Kesultanan Yogyakarta yang konon jadi dalang di balik berdirinya pasar ini. Kata "Ka-Rangga-an" kemudian melekat jadi Kranggan, dan akhirnya jadi nama pasar.
Didirikan sekitar abad ke-19, di zaman kolonial, pasar ini awalnya adalah pusat dagang yang strategis banget—dekat pusat kota, gampang diakses dari mana aja, dan jadi tempat persinggahan warga dari berbagai latar belakang, termasuk komunitas Tionghoa yang waktu itu banyak tinggal di sekitar situ karena aturan Wijkenstelsel.
Dulu Pasar Kranggan lebih dikenal sebagai tempat belanja kebutuhan pokok. Tapi kayak manusia, pasar ini juga mengalami perubahan. Sekarang, Kranggan lebih kondang sebagai surga kuliner tradisional. Bayangin aja, dari jenang, cenil, lupis, sampai pisang goreng keju dan clorot—semua ada. Semacam pesta karbo dan nostalgia dalam satu gigitan.
Jangan lupa mampir ke lantai satu, tempat deretan toko emas dan penjual bunga tabur berjajar rapi. Di bagian dalam, kamu bisa nemu bumbu dapur, pakaian, alat rumah tangga, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Mau belanja sayur pagi-pagi? Langsung aja ke bagian belakang pasar, yang ramai sejak subuh.
Yang bikin Pasar Kranggan tetap punya tempat di hati warga Jogja adalah atmosfernya yang hangat dan akrab. Para pedagangnya ramah, harga barangnya merakyat, dan suasananya penuh kehidupan. Ini bukan cuma tempat jual beli, tapi juga ruang sosial: tempat orang ngobrol, ketemu teman lama, atau sekadar ngopi sambil nunggu istri belanja.
Pasar ini sempat direnovasi besar-besaran dua kali, pertama di era 70-an dan terakhir tahun 2013. Sekarang tampilannya lebih bersih dan terorganisir, tapi tetap mempertahankan vibe tradisional yang jadi ciri khasnya. Dengan luas sekitar 7.400 meter persegi dan lebih dari 800 pedagang, Kranggan masih jadi salah satu pasar paling aktif di Jogja.
Pasar Kranggan itu kayak Jogja dalam bentuk mini: tua tapi nggak pernah ketinggalan zaman, tradisional tapi tetap adaptif, sederhana tapi penuh makna. Kalau kamu nyari tempat yang bisa bikin kamu ngerasa ‘Jogja banget’ tanpa harus ke tempat wisata mainstream, mampir aja ke sini. Beli lupis, senyum sama pedagang, dan biarkan dirimu terlarut dalam kenangan yang berjejal di setiap sudutnya.