Pasar Legi Kotagede: Belanja dari Zaman Ki Ageng Pamanahan

Di tengah kawasan tua Kotagede, ada sebuah pasar yang usianya sudah jauh melampaui usia kebanyakan bangunan di Yogyakarta. Namanya Pasar Legi Kotagede—sebuah tempat yang lebih dari sekadar lokasi jual beli. Ia adalah nadi kehidupan, saksi sejarah, dan ruang berkumpulnya warga sejak abad ke-16. Kalau dindingnya bisa bicara, mungkin ia sudah bercerita panjang soal betapa sibuknya orang Jogja menjaga hidup tetap berjalan sejak ratusan tahun silam.

Awal Mula yang Bersahaja

Pasar ini lahir pada tahun 1549, atas prakarsa Ki Ageng Pamanahan. Tanah tempat pasar berdiri adalah hadiah dari Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang), sebagai bentuk penghargaan karena Ki Ageng Pamanahan berhasil menumpas pemberontakan Arya Penangsang. Waktu itu, wilayah Mataram belum ada apa-apanya—hanya hutan belantara bernama Alas Mentaok. Tapi dari hutan itulah, cikal bakal Yogyakarta tumbuh. Dan sebelum membangun keraton, Pamanahan lebih dulu membangun pasar. Karena apa artinya kekuasaan kalau rakyat nggak bisa jualan?

Ekonomi, Sosial, dan Segala di Antaranya

Di masa awalnya, pasar ini dikenal sebagai Sargedhe atau Pasar Gede—pasar besar. Tapi bukan besar dalam arti mewah, melainkan penting. Masyarakat dari segala penjuru datang untuk berdagang, bertemu, berbincang. Dalam filosofi tata kota Jawa, kota yang ideal punya empat elemen utama: keraton, alun-alun, masjid, dan pasar. Pasar adalah bagian dari harmoni itu.

Waktu itu belum ada los atau kios seperti sekarang. Para pedagang duduk di bawah pohon besar, menggelar hasil bumi: beras, sayur, buah. Pas hari pasaran Legi, pasar jadi luar biasa ramai—sampai akhirnya hari itu diabadikan dalam nama: Pasar Legi. Di hari itu juga, mulai banyak dijual batik, alat rumah tangga dari logam, gerabah, hingga perlengkapan membatik.

Masa Kolonial dan Perubahan Zaman

Di era Hindia Belanda, pasar ini makin berkembang. Pedagang dari luar Kotagede mulai bermukim, membuka warung makan, menjual kayu bakar, sampai kerajinan perak. Pada tahun 1986, pasar direnovasi besar-besaran dan diresmikan kembali oleh Wali Kota Yogyakarta saat itu, Soegiarto.

Hari ini, Pasar Legi masih hidup dan sibuk. Hampir buka 24 jam, dengan lapak yang menjual segala: bahan pokok, jajanan pasar, pakaian, batik, hingga kerajinan tangan. Meski wajahnya berubah, jiwanya tetap sama—pasar rakyat, untuk rakyat. Bahkan kini, bangunannya telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Lebih dari Sekadar Tempat Belanja

Masuk ke Pasar Legi Kotagede itu seperti masuk ke mesin waktu yang masih bisa ngobrol. Di sana, kamu bisa jajan kipo, nyicip geplak, atau cari sate kambing yang nendang rasanya. Tapi lebih dari itu, kamu bisa merasakan denyut kehidupan tradisional yang masih berdetak meski zaman terus berganti.

Pasar ini tidak berusaha menjadi modern atau kekinian—dia cukup menjadi dirinya sendiri. Dan justru itu yang membuatnya abadi. Sebuah tempat yang selalu jadi rumah bagi siapa saja yang mencari penghidupan, kehangatan, atau sekadar ingin mengingat bagaimana Jogja dulu pernah hidup.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak