Dari perkembangan lembaga pengkajian bahasa dan kebudayaan inilah kemudian di Universitas Leiden didirikan program Indologie, sebuah departemen atau jurusan yang memberikan Pendidikan tingkat doktoral. Hal itu diperuntukkan bagi mahasiswa Belanda dan asing untuk mempelajari berbagai hal tentang budaya ketimuran (Indonesia), baik dibidang hukum, hukum adat, bahasa, politik, seni, maupun budaya. Dari lembaga inilah nantinya tercetak nama-nama besar yang kemudian menjadi pionir-pionir Java Institut di Yogyakarta yang akhirnya melahirkan Museum Sonobudoyo.
Efek dari politik etis yang dirumuskan dan diterapkan pemerintah kolonial Belanda, khususnya mengenai perluasan Pendidikan Barat di kalangan bumiputra, memperlihatkan wujudnya. Di kalangan elite, terutama yang menunjukkan minat besar terhadap Pendidikan Barat, melahirkan sarjana-sarjana baru di berbagai bidang. Banyak dari mereka yang akhirnya bekerja di birokrasi pemerintah maupun swasta, meskipun ada juga sebagian dari mereka yang memperdalam studi ke jenjang lebih lanjut (universitas).
Jenjang studi universitas belum berkembang di Hindia Belanda, maka banyak yang melanjutkan studinya ke Belanda, terutama di Delft, Leiden, Utrecht dan Rotterdam. Umumnya mereka berasal dari kalangan elite priyayi dan istana yang ada di Jawa, seperti Kasunanan, Mangkunegaran, Kesultanan, dan Pakualaman Yogyakarta . Beberapa diantaranya merupakan keluarga bupati dari berbagai regenschap yang ada di Jawa, lalu beberapa tokoh terkenal seperti Dr. Hoesein Djajadiningrat merupakan keluarga priyayi di Banten dan P.A. Adinegara, yang kemudian menjadi voorsiters dalam Java-Instituut. Java Instituut merupakan sebuah lembaga yang mengkaji bahasa dan kebudayaan Jawa, Sunda, Bali dan Madura. Lembaga ini didirikan sebagai rekomendasi dari hasil Kongres Bahasa Jawa pertama pada tanggal 5-7 Juli 1918. Lembaga ini menjadi kumpulan kegiatan ilmiah dari para Taal Ambteenar atau para ahli bahasa. Umumnya mereka adalah orang Belanda yang memiliki minat terhadap bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Madura.
Pembentukan lembaga kajian ini dipicu oleh perdebatan seru pesera kongres mengenai Jawa dari berbagai perpektif (bahasa, politik, budaya dan sejarah), diantaranya adalah perdebatan antara tokoh intelektual Jawa seperti Soetatmo dan Tjipta Mangunkusumo. perdebatan menyentuk berbagai aspek dan latar bidang pengetahuan yang komprehensif sehingga muncul ide bahwa tidaklah cukup mempelajari Jawa hanya dari sisi bahasa, tetapi sebaiknya melibatkan aspek lain termasuk aspek sejarah Jawa. Java Instituut menjadi jawaban atas kebutuhan lembaga yang dapat menghimpun kajian mengenai Jawa. Supaya kajian ilmiah dapat didiseminasikan dengan baik, maka terbitlah majalah untuk mempublikasikan artikel ilmiah mengenai berbagai kajian Jawa, Sunda, Bali dan Madura, sehingga tidak mengherankan jika setelah Java Instituut didirikan pada tanggal 4 Agustus 1919 di Surakarta, dua tahun kemudian terbitlah majalah ilmiah yang diberi nama Djawa.