Eksistensi Museum Sonobudoyo di Yogyakarta merupakan monumen penting dalam perkembangan pengkajian modern mengenai kebudayaan Jawa yang dipelopori dari kolaborasi ilmuwan Belanda dan ilmuwan Indonesia. Kehadiran museum ini melalui proses yang sangat panjang dan pararel dengan upaya pengembangan pengetahuan ilmu humaniora di Indonesia. Sebelum membahas bagaimana sejarah terbangunnya Museum Sonobudoyo, perlu dipahami terlebih dahulu perkembangan politik dan kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Kehadiran Museum Sonobudoyo di Yogyakarta merupakan hasil interaksi intelektual dan ideologis dari para intelektual kolonial dan anak-anak didiknya, yaitu intelektual pribumi. Intelektual pribumi merupakan salah satu bagian dari sebuah misi besar colonial atau yang dikenal dengan “imperial mission.” Misi besar kolonialisme adalah untuk membangun kekuasaan Belanda Raya yang terdiri atas negeri induk dan koloni-koloninya terlebih di Asia, Afrika, dan Amerika. Di Indonesia sendiri, kolonialisme telah berakar 200 tahun sebelum pembentukan negara colonial pada awal abad XX. Pada masa itu VOC memperluas misi dagang ke Nusantara dan membangun imperial dagang dengan mengakuisisi secara perlahan wilayah-wilayah teriterian yang luas di daerah Nusantara. Sejak saat itulah terjadi hubungan yang intensif antara kedua bangsa tersebut, dari hubungan dagang ke hubungan politis dan juga kultural.
Meskipun dasar-dasar utama relasi itu pada umumnya berbasis demi keuntungan dagang, namun dalam hubungan antarbangsa diberlakukan pemahaman yang intensif antarkeduanya. Perbedaan bahasa, budaya, dan agama menjadi persoalan-persoalan awal yang harus dikomunikasikan dalam membangun hubungan tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan pertama yang berkembang di bidang humaniora pada masa periode prakolonial adalah pengetahuan bahasa, agama dan juga budaya. Seiring berjalannya waktu orang – orang Belanda mulai memahami bahasa dan budaya lokal dan begitu pula sebaliknya, sekalipun belum terlembagakan secara kuat.