Keadaan dimana Belanda tidak mengenal dengan baik bahasa dan kebudayaan pribumi pada masa itu memang cukup ironis, jika dibandingkan dengan praktik kolonial yang dilakukan oleh Inggris atas India, Singapura, Semenanjung Melayu, dan Jawa pada masa lalu. Meskipun Inggris menduduki wilayah jajahan dalam kurun waktu yang tidak lama, akan tetapi mereka mengupayakan berbagai lembaga untuk melakukan pengkajian ilmiah mengenai sejarah kebudayaan pribumi. Misalnya saja seperti di Malaka, Inggris mendirikan Anglo-Chinese College pada awal abad XIX, sedangkan tentang Jawa Thomas Stamford Raffles melahirkan buku sejarah yang luar biasa yaitu History of Java.
Lalu kemudian disusul oleh bawahannya yang sangat terkenal, John Crawfurd dengan buku History of the Indian Archipelago. Dan hal ini yang membuat keadaan cukup ironis, dimana bangsa Belanda yang telah sangat lama bercokol di daerah Jawa dan hidup berdampingan bersama masyarakat, terhitung kurang lebih sekitar 230 tahun lamanya (dihitung hingga berakhirnya Perang Jawa pada tahun 1830), namun bangsa Belanda sama sekali belum memiliki minat serius untuk melakukan upaya yang sama dengan bangsa Inggris, terhadap kebudayaan dan masyarakat yang ada di Jawa.
Hal pertama yang dilakukan adalah pembentukan pendirian pusat studi Bahasa Jawa di Surakarta atau Instituut Voor de Javanese Taal tahun 1832, atas kritik dari Gericke yang disetujui oleh JC Baud, seorang pejabat kementrian kolonial. Dipimpin langsung oleh Gercike, institut tersebut memiliki 9 orang anggota, antara lain yang berpengaruh adalah Carel Frederick Finter seorang penerjemah bahasa Jawa di Istana Surakarta, J. W. Wilkens yang memiliki profesi yang sama di Surakarta, dan tugas mereka adalah mendidik para pegawai kolonial Belanda untuk dapat memahami Bahasa Jawa.