Di balik megahnya Museum Sonobudoyo yang berdiri tenang tak jauh dari alun-alun utara Jogja, tersimpan harta karun yang tak bersinar tapi bernilai lebih dari emas: manuskrip-manuskrip kuno. Lembar demi lembar naskah, ditulis tangan dengan aksara Jawa, Arab Pegon, hingga Bali, menjadi saksi bisu perjalanan panjang kebudayaan Nusantara. Dari daun lontar sampai serat kertas Eropa, semuanya dijaga seperti merawat nyawa sendiri—karena sejatinya, memang itulah napas leluhur.
Koleksi manuskrip di Sonobudoyo tak cuma jadi pajangan dalam etalase kaca. Ia adalah narasi panjang peradaban yang tersusun lewat tinta dan waktu. Ada naskah keagamaan, kisah pewayangan, ilmu pengobatan tradisional, hingga ajaran moral dan filsafat Jawa. Masing-masing ditulis dengan gaya bahasa dan ejaan zamannya, membuktikan bahwa literasi di bumi nusantara telah tumbuh sejak jauh sebelum mesin ketik ditemukan.
Bayangkan, ada teks kuno berisi pengobatan penyakit menggunakan ramuan dari daun-daunan dan akar pohon, lengkap dengan mantra dan doa pembuka. Atau naskah primbon yang mencatat hari baik untuk menikah, bertani, atau bahkan pindah rumah. Manuskrip-manuskrip ini bukan sekadar teks; mereka adalah cara hidup. Pengetahuan yang diwariskan bukan lewat sekolah, tapi lewat tangan yang sabar menulis, malam demi malam.
Lontar—daun yang dikeringkan dan diraut halus—menjadi medium awal. Lembaran ini ditulis menggunakan pisau kecil bernama pengutik, kemudian dihitamkan dengan arang agar tulisannya tampak. Teknologi sederhana, tapi daya tahannya bisa melampaui zaman. Ketika kertas jadi barang mahal, serat kayu dan kulit binatang juga sempat menjadi alternatif. Apapun medianya, semangatnya satu: menjaga ilmu agar tak lenyap ditelan angin.
Sonobudoyo bukan sekadar menyimpan, tapi juga menghidupkan kembali manuskrip-manuskrip ini lewat digitalisasi. Teknologi jadi jembatan, bukan pengganti. Naskah-naskah tua yang rapuh mulai dipindai dan diunggah agar bisa diakses lebih luas, tanpa harus menyentuh fisiknya yang rentan. Upaya ini bukan sekadar preservasi, tapi bentuk penghormatan.
Kadang, dari satu manuskrip kecil yang usianya ratusan tahun, kita bisa memahami dunia lama yang penuh kearifan. Bahwa leluhur kita tidak sekadar hidup, tapi berpikir, mencatat, dan menyampaikan. Dan Sonobudoyo adalah penjaga sunyi dari semua itu. Menyimpan suara masa lalu, agar kita bisa mendengarnya hari ini.
Jadi, kalau suatu hari kamu masuk ke ruang naskah kuno di Sonobudoyo, berhentilah sejenak. Tatap lembaran yang ada di balik kaca itu, dan bayangkan tangan siapa yang dulu menuliskannya. Mungkin ia seorang pujangga, tabib, atau petani biasa yang mencintai ilmu. Tapi satu hal pasti: dari ujung pena atau pengutik-nya, ia ingin kita tak lupa, bahwa pengetahuan adalah pusaka paling sejati.