Tumplak Wajik: Tradisi Lengket-Lengket Penuh Makna di Keraton Jogja

Kalau biasanya wajik cuma jadi tamu biasa di piring-piring hajatan, di Jogja, dia dapat panggung megah. Namanya: Tumplak Wajik. Ini bukan soal camilan lengket yang manisnya nendang sampai gigi ngilu, tapi tentang tradisi penuh makna yang sudah turun-temurun digelar di Keraton Yogyakarta. Satu-satunya acara di mana wajik bukan cuma dimakan, tapi juga ditumpuk, diarak, dan dimuliakan.

Tumplak Wajik adalah upacara sakral yang jadi pembuka rangkaian Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Dilaksanakan di Magangan, halaman dalam kompleks Keraton, biasanya dua hari sebelum puncak Grebeg. Di situ, puluhan abdi dalem dengan pakaian adat lengkap akan datang membawa tumpeng wajik. Tapi ini bukan tumpeng nasi kuning biasa. Ini tumpeng yang isinya wajik, disusun rapi mengerucut, warnanya coklat legit, dan aromanya menggoda.

Sambil membawa tumpeng wajik, para abdi dalem juga memainkan alat musik tradisional seperti kenong, gong, dan terbang, serta menyanyikan lagu-lagu dolanan Jawa. Anak-anak kecil yang menonton biasanya ikut terhanyut dalam suasana. Tapi buat para tetua dan pecinta tradisi, momen ini adalah upacara penuh makna. Penuh simbol, sarat pesan.

Kenapa wajik? Karena wajik, dengan bahan dasar ketan dan gula merah, melambangkan keterikatan, kekompakan, dan rasa manis dalam kebersamaan. Dalam filosofi Jawa, hidup itu harus seperti ketan—lekat satu sama lain, tidak gampang tercerai. Dan manisnya wajik jadi doa agar hidup rakyat dan pemimpin selalu dirundung berkah dan kesejahteraan.

Upacara ini juga menunjukkan bahwa tradisi di Jogja masih dijaga dan dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Meski terlihat sederhana, setiap prosesi memiliki nilai dan pesan yang mendalam. Setelah prosesi selesai, tumpeng-tumpeng wajik itu dibagi-bagikan ke masyarakat. Kadang ada yang sengaja datang untuk mendapat sepotong wajik keramat, sebagai simbol keberkahan.

Tumplak Wajik mungkin terdengar sepele—cuma soal wajik ditumpuk. Tapi di balik tumpukan itu, ada sejarah, ada harapan, ada doa yang ditumpangkan diam-diam. Lengketnya wajik bukan cuma soal rasa, tapi juga tentang bagaimana masyarakat Jogja tetap lengket dengan akar budayanya.

Jadi kalau suatu saat kamu ke Jogja dan dengar ada Tumplak Wajik, datanglah untuk menyaksikan bagaimana sebuah tradisi kecil bisa menyimpan makna yang begitu besar.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak