Lembaga pusat studi Bahasa Jawa di Surakarta yang dibentuk pada tahun 1832, tidak berjalan dengan baik karena sikap rasialis dari para pegawai kolonial yang umumnya adalah Belanda ‘totok’ atau Belanda asli. Winter sebagai guru mereka yang memiliki darah campuran (mixed-blood) dianggap “tidak pantas” menggurui orang Belanda berdarah murni. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan pusat studi bahasa dan kebudayaan Jawa dialihkan ke negeri Belanda.
Di Belanda, lembaga yang sama didirikan di Delf pada tahun 1843, dan disebut dengan Koninklijke Academie dengan fokus pada bahasa dan kebudayaan Jawa serta Melayu. Dipimpin oleh Roorda van Eysinga, J.J. Hollander, dan Taco Roorda, dan setelah 17 tahun akademi ini dipindahkan ke Leiden. Selama di Leiden, Roorda memimpin lembaga ini dan secara berturut-turut digantikan oleh Hendrik Kern dan A.B. Vreede.
Sejak dipindahkan ke Leiden lembaga ini berkembang cukup pesat, jika semula mereka hanya mempelajari bahasa Jawa dan Melayu, kemudian berkembang dengan mempelajari bahasa-bahasa nusantara yang lainnya. Sejak pendirian lembaga ini, aktivitas literasi nusantara juga berkembang pesat, mulai dari penulisan, penyalinan, penerjemahan dan pembelian naskah-naskah Nusantara ke Belanda. Hasil dari berbagai aktivitas lembaga tersebut berupa ratusan naskah yang tersimpan di Universiteit Bibliotheek Leiden.
Hal penting yang perlu dicatat bahwa keberhasilan dari lembaga pengkajian bahasa dan kebudayaan Jawa di Leiden tidak terlepas dari kontribusi para intelektual atau pujangga Jawa. Banyak pujangga Jawa yang kemudian “diculik” atau sederhananya dibawa dan dipekerjakan ke Belanda untuk melakukan penyalinan dan penjarwaan naskah-naskah nusantara dan Jawa. Mereka menjadi semacam “born nutritie” yang artinya sumber nutrisi bagi para orientalis Belanda yang bekerja di lembaga tersebut.