Abdi Dalem: Antara Kesetiaan, Budaya, dan Filosofi Hidup di Keraton Yogyakarta

Kalau mendengar kata abdi dalem, sebagian orang mungkin langsung terbayang sosok bersarung, berkain, dan berjalan tanpa alas kaki di lingkungan keraton. Tapi ternyata, dunia abdi dalem lebih luas daripada sekadar pakaian adat atau protokol upacara. Mereka bukan hanya pekerja, tapi juga simbol budaya dan teladan hidup.

Sejarahnya dimulai sejak Keraton Yogyakarta resmi berdiri pada 13 Maret 1755. Waktu itu, Sultan butuh aparatur negara—ada yang bertugas di bidang sipil, ada pula yang di bidang militer. Maka lahirlah dua “sayap” penting: abdi dalem sebagai aparatur sipil, dan prajurit keraton sebagai aparatur militer.

Ciri khas abdi dalem jelas terlihat: busana peranakan, komunikasi dengan Bahasa Bagongan (bahasa keraton yang berbeda dari bahasa Jawa sehari-hari), dan aturan ketat seperti larangan memakai perhiasan bagi perempuan. Semua itu untuk menegaskan satu hal: tidak ada perbedaan derajat, semua setara. Bahkan, sesama abdi dalem memanggil satu sama lain dengan sebutan “kanca”—teman.

Jadi Abdi Dalem Itu Bukan Sekadar Kerja

Tugas abdi dalem bukan hanya urusan operasional di keraton. Lebih dari itu, mereka disebut juga sebagai abdi budaya. Artinya, mereka dituntut jadi contoh bagi masyarakat, baik dari sikap, unggah-ungguh, maupun cara menjalani hidup.

Landasan moral mereka diikat oleh sebuah credo yang diwariskan Sultan Hamengku Buwono I, yaitu Watak Satriya. Isinya?

  • Nyawiji: totalitas, fokus, dan pasrah pada Tuhan.

  • Greget: penuh semangat dan penghayatan.

  • Sengguh: percaya diri.

  • Ora mingkuh: pantang mundur meski ada rintangan.

Kalau dipikir-pikir, ini bukan cuma etos kerja, tapi filosofi hidup yang relevan sampai sekarang.

Macam-Macam Abdi Dalem

Secara garis besar, ada dua golongan:

  1. Abdi Dalem Punakawan – dari masyarakat umum, tugasnya operasional sehari-hari. Dibagi dua:

    • Tepas: punya jam kerja seperti pegawai kantoran.

    • Caos: datang setiap sepuluh hari sekali untuk sowan, lebih sebagai tanda bakti.

  2. Abdi Dalem Keprajan – biasanya dari pensiunan TNI, Polri, atau PNS yang ingin mengabdi secara sukarela.

Ada juga kelompok Abdi Dalem Keparak, yang banyak diisi perempuan, dan tugasnya dekat sekali dengan Sultan, seperti menyiapkan perlengkapan upacara atau menjaga ruang pusaka.

Jenjang Karir ala Keraton

Sama seperti PNS, abdi dalem juga punya jenjang kepangkatan. Mulai dari level Jajar yang paling bawah, sampai Pangeran Sentana yang tertinggi. Proses naik pangkat diatur oleh Parentah Hageng, semacam “BKN versi keraton”.

Uniknya, kenaikan pangkat bisa reguler (setiap 3–5 tahun), bisa juga khusus langsung atas titah Sultan. Yang terakhir ini biasanya diberikan karena jasa luar biasa.

Ada juga istilah miji, yaitu proses pemberhentian. Bisa karena usia, sakit, atau alasan lain. Kalau miji hormat, abdi dalem tetap dihargai. Tapi kalau miji pocot—diberhentikan dengan tidak hormat—gelar harus dikembalikan, bahkan dilarang masuk keraton.

Abdi Dalem Zaman Now

Dulu, abdi dalem identik dengan orang tua yang sederhana. Sekarang, banyak dari mereka adalah orang muda, berpendidikan, punya wawasan luas, dan tetap mau mengabdi.

Di tengah dunia yang makin sibuk dan instan, keberadaan abdi dalem seolah jadi pengingat bahwa ada nilai-nilai kesetiaan, pengabdian, dan kesederhanaan yang tidak boleh hilang.

Keraton memang simbol budaya, tapi lewat para abdi dalem, ia juga jadi semacam cermin tentang bagaimana kita, orang Jawa (dan Indonesia), memaknai hidup.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak