Bayangkan jadi seorang raja tapi malah dipaksa tanda tangan surat kontrak seolah-olah sedang menggadaikan tanah ke rentenir. Kira-kira itulah yang dialami Paku Buwana II di abad ke-18. Dalam Babad Giyanti, bahkan ia sempat curhat ke adiknya, Pangeran Mangkubumi, tentang betapa beratnya ditekan Gubernur Jenderal VOC buat menyerahkan wilayah pesisir Mataram.
Ya namanya juga VOC, kalau sudah soal tanah dan dagang, liciknya bisa mengalahkan sales asuransi. Tidak heran kemudian Mangkubumi angkat senjata melawan. Dari sanalah lahir Perjanjian Giyanti (1755) yang bikin tanah Mataram pecah dua: Kasunanan Surakarta di timur Kali Opak, dan Kesultanan Yogyakarta di baratnya. Momen inilah yang jadi cikal bakal lahirnya Yogyakarta yang kita kenal sekarang.
Kalau sekarang kota diatur pakai tata kota modern, di masa itu Yogyakarta masih pakai konsep mandala. Intinya, raja adalah pusat, lalu ruang-ruang kekuasaan mengelilinginya kayak lingkaran konsentris.
Ada empat lapisan utama:
Kraton – jantung kekuasaan, tempat Sultan tinggal dan menjalankan pemerintahan dalam.
Nagara (kutha negara) – semacam ibukota administratif, dihuni pangeran dan pejabat tinggi.
Negaragung – wilayah inti yang mengitari ibukota, biasanya tanah untuk para pejabat.
Mancanegara – wilayah luar yang diurus para bupati.
Beda dengan negara modern, batas wilayah dulu tidak pakai patok GPS. Jadi kadang ya tumpang tindih, siapa kuat dia berkuasa.
Lompatan waktu ke awal abad ke-19. Belanda tumbang di Jawa, Inggris masuk. Sultan Hamengku Buwono II sempat “comeback” ambil alih keraton. Tapi negosiasi dengan Raffles gagal. Akhirnya Inggris menyerbu Yogya tahun 1812. Peristiwa ini dikenal sebagai Geger Sepehi—versi Jawa dari drama kudeta. Sultan ditawan, lalu Paku Alam I lahir sebagai penguasa baru dengan wilayah Pakualaman yang “dicuilkan” dari tanah Kesultanan.
Belum sempat stabil, pecah lagi Perang Jawa dipimpin Pangeran Diponegoro. Perang ini bikin kolonial Belanda jebol kantong. Ujungnya? Kesultanan dan Pakualaman dipaksa menyerahkan seluruh mancanegara (1831). Dari sini wilayah kekuasaan mereka makin menciut.
Awal abad ke-20, kolonial Belanda mulai memberlakukan aturan agraria modern. Semua tanah diukur, diberi batas, dibuat sertifikat ala kolonial. Kesultanan mau tidak mau ikut aturan itu. Ironisnya, justru dari situlah Yogyakarta mulai punya batas wilayah yang jelas.
Lalu datanglah 1945. Indonesia merdeka. Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII langsung deklarasi gabung ke Republik. Dari sinilah lahir Daerah Istimewa Yogyakarta—perpaduan antara Kesultanan dan Pakualaman.
Kalau dipikir-pikir, perjalanan wilayah Yogya itu seperti tanah yang selalu digunting, ditambal, dibagi, lalu dipaksa diatur ulang. Tapi justru dari sejarah “cuil-mencuil” itulah lahir satu daerah yang sampai sekarang dikenal istimewa.