Sumbu Filosofi Yogyakarta: Harmoni Alam, Manusia, dan Sang Pencipta

Pada tahun 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang sebelumnya dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi memulai pembangunan Kota Yogyakarta. Perjalanan hidupnya sejak kecil hingga dewasa, yang ditempa di lingkungan Keraton Kartasura dan Surakarta, menjadi dasar konsepsi tata ruang kota. Keraton Yogyakarta pun dibangun dengan berlandaskan prinsip kosmologi Jawa yang menghubungkan manusia, alam, dan Sang Pencipta, dengan Gunung Merapi dan Laut Selatan sebagai poros utama.

Filosofi utama yang menjadi pedoman pembangunan adalah Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti menjaga keindahan, keselamatan, dan kelestarian alam. Letak keraton dipilih dengan teliti: berada di atas tanah tinggi, diapit enam sungai, dekat sumber air Umbul Pacethokan, dan dikelilingi vegetasi penuh makna simbolis. Semua elemen ini bukan sekadar aspek teknis, melainkan sarat dengan pesan spiritual dan budaya.

Meski sering dianggap segaris, Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan sebenarnya tidak berada dalam satu garis lurus, melainkan dalam sumbu imajiner. Adapun sumbu nyata adalah garis utara-selatan yang menghubungkan Tugu Golong Gilig – Keraton – Panggung Krapyak, menggambarkan perjalanan hidup manusia dari lahir hingga kembali ke Sang Pencipta, sesuai filosofi Sangkan Paraning Dumadi.

  • Panggung Krapyak melambangkan awal kehidupan, rahim, dan proses pendewasaan.

  • Keraton mencerminkan kehidupan manusia di dunia, lengkap dengan ujian dan pengabdian.

  • Tugu Golong Gilig melambangkan tujuan akhir, yakni kembali kepada Tuhan dengan kesucian hati dan penyatuan cipta, rasa, serta karsa.

Setiap titik pada sumbu tersebut jalan, pohon, kampung, hingga alun-alun—punya makna simbolis yang kaya. Dari pohon asem yang melambangkan masa muda, hingga Bangsal Trajumas di Srimanganti yang menjadi simbol pengadilan amal manusia, semuanya mengajarkan perjalanan spiritual.

Namun, sumbu filosofi ini bukan hanya refleksi spiritual rakyat. Bagi Sultan, poros keraton menuju Tugu Golong Gilig menegaskan makna Manunggaling Kawula Gusti, yakni penyatuan rakyat, sultan, dan Tuhan. Sementara jalur menuju Panggung Krapyak berhubungan dengan akhir perjalanan fisik para Sultan, karena di ujungnya terdapat jalur menuju makam raja di Pajimatan Imogiri.

Seiring waktu, sumbu ini juga menjadi pusat denyut ekonomi, sosial, dan budaya Yogyakarta. Pasar Beringharjo, Gedung Kepatihan, dan Masjid Gedhe adalah wujud nyata keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan spiritual. Meski beberapa simbol berubah akibat gempa maupun intervensi kolonial, makna filosofinya tetap terjaga.

Sumbu Filosofi Yogyakarta bukan sekadar warisan arsitektur, melainkan juga pengingat bagi setiap generasi bahwa hidup adalah perjalanan kembali kepada Sang Pencipta. Melintasi jalan-jalan kota ini, seakan kita diajak untuk selalu merenungkan makna kehidupan dan menjaga harmoni antara manusia, alam, serta Tuhan.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak