Kalau bicara tentang Yogyakarta, biasanya yang pertama kebayang pasti Keraton. Padahal, ada satu bangunan lain yang sejak awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta sudah jadi sorotan: Tamansari. Sebuah kompleks taman dan pemandian yang dibangun di atas Umbul Pacethokan. Proyeknya dimulai tahun 1757 dan baru kelar delapan tahun kemudian. Bayangin aja, delapan tahun buat bikin tempat pemandian. Ada yang percaya kalau Sultan Hamengku Buwono I sengaja mengulur-ulur waktu supaya benteng permintaan Belanda, Vredeburg, nggak buru-buru berdiri. Strategi politik ala arsitektur, mungkin begitu.
Tamansari bukan cuma indah di mata orang Jawa. Catatan asing juga banyak yang ngulik. Raffles, si gubernur Inggris yang doyan banget sama segala hal di Jawa, sampai kepo banget dengan “Istana Air” ini. Saking penasarannya, dia nitip sama tentaranya supaya nanti kalau pasukan Inggris berhasil masuk Yogya, mereka bikin sketsa Tamansari. Bayangin, saking pengin dianggap keren, sketsanya aja sudah direncanain jauh hari.
Ada juga kisah Jan Greeve dari VOC. Datang bawa hadiah, lalu dijamu Sultan naik perahu bersepuh emas. Eh, tiba-tiba Sultan yang sudah sepuh itu menghilang ke dalam ruangan misterius. Greeve bingung, kayak orang nyasar di escape room tanpa clue. Dalam catatannya, dia juga cerita kalau Sultan mengajak semua tamu menari di dalam salah satu bangunan Tamansari. Jadi, selain megah, kompleks ini juga punya aura “wah, random banget” di mata orang asing.
Sayangnya, kemegahan Tamansari nggak bertahan lama. Baru aja beberapa tahun setelah selesai, tahun 1803, Gunung Guntur di Jawa Barat meletus. Gempanya bikin fondasi Tamansari retak, kolam dan danaunya kering. Memang sempat diperbaiki, tapi setelah Inggris menyerbu Yogya tahun 1812, Tamansari kena imbas juga. Apalagi saat itu dipakai jadi bengkel senjata. Sejak itu, Tamansari terbengkalai.
Luka lain datang dari gempa 1867. Hampir semua bangunan besar di Yogya ambruk, termasuk Tamansari. Sejak itu, kompleks megah ini tinggal puing. Penelitian sempat dimulai tahun 1942, tapi bubar jalan gara-gara Jepang masuk. Malah banyak warga yang kemudian tinggal di atas reruntuhan Tamansari, dan Sultan Hamengku Buwono IX membiarkannya demi kemanusiaan.
Renovasi serius baru dimulai tahun 1977. Lalu di 2004, Portugal ikut turun tangan. Proyeknya cukup unik—misalnya semen dicampur manual biar tidak merusak struktur. Lambat? Ya jelas. Tapi setidaknya ada upaya menyelamatkan Umbul Binangun dan beberapa bagian lain. Tamansari bahkan sempat masuk daftar 100 Warisan Budaya Dunia. Sayangnya, gempa Yogya 2006 bikin bangunannya rusak lagi. Renovasi ulang, lalu rusak lagi. Siklus yang kayak nggak ada ujung.
Sampai sekarang, Tamansari belum pernah benar-benar “utuh” kembali. Tapi justru di situlah daya tariknya. Di balik puing-puingnya, ada cerita tentang strategi politik, keindahan yang bikin bangsa asing kepo, sampai luka akibat perang dan bencana. Dan meski kini fungsinya lebih ke wisata, Tamansari tetap jadi pengingat bahwa sejarah bukan cuma tentang bangunan berdiri kokoh, tapi juga tentang bagaimana ia terus runtuh, diperbaiki, lalu runtuh lagi.