Kalau mendengar kata Tamansari, mungkin yang langsung kebayang adalah tempat wisata dengan lorong bawah tanah yang instagramable itu. Tapi aslinya, Tamansari bukan sekadar spot foto estetik. Dulu, tempat ini adalah taman kerajaan yang megah, semacam “resor pribadi” Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bayangkan saja, dibangun tahun 1758, dengan kolam, pulau buatan, kanal air, bahkan masjid bawah tanah. Kalau istilah anak sekarang: ini waterpark-nya raja.
Nama Tamansari sendiri artinya “taman yang indah”. Dan memang, dulu tempat ini dikelilingi bunga harum, pepohonan rindang, plus danau buatan yang bikin suasana adem. Tak heran kalau orang Belanda menjulukinya Waterkasteel alias “Istana Air”. Tapi ada juga yang menyebutnya The Fragrant Garden, karena memang harum semerbak. Beda jauh dengan sekarang, yang kadang harumnya bercampur aroma gorengan dari warung sekitar.
Desainnya unik, gabungan ide Sultan dengan sentuhan arsitek Portugis yang dikenal sebagai Demang Tegis. Konon dia asalnya dari Gowa, Sulawesi. Di bawah komando Tumenggung Mangundipuro—yang kemudian digantikan Pangeran Notokusumo—proyek megah ini berdiri di atas mata air alami, Umbul Pacethokan. Jadi, sumber airnya memang asli dari bumi, bukan PDAM.
Tamansari punya dua danau besar atau segara-an. Ada Pulo Gedhong di timur, ada Pulo Kenanga di barat. Keduanya dihubungkan kanal yang diapit kebun buah. Bisa dibayangkan, dulu Sultan dan keluarga bisa naik perahu kecil, berkeliling danau, lalu singgah di pulau buatan. Romantisnya ngalahin drama Korea.
Selain jadi tempat santai, Tamansari juga punya fungsi serius: pertahanan dan religi. Dari sisi pertahanan, ada tembok tebal, bastion tempat senjata, dan lorong bawah tanah buat evakuasi kalau ada serangan musuh. Dari sisi religi, ada Sumur Gumuling yang jadi masjid bawah tanah, serta Pulo Panembung—spot khusus Sultan untuk meditasi. Jadi, selain hiburan, juga ada ruang kontemplasi. Lengkap.
Sayangnya, gempa tahun 1867 bikin banyak bangunan Tamansari ambruk. Sejak itu, area megah ini terbengkalai. Penduduk sekitar akhirnya membangun rumah di atas reruntuhan taman kerajaan. Praktis, Tamansari berubah jadi bagian dari kampung. Kalau sekarang main ke sana, jangan heran kalau jalan masuknya harus lewat gang sempit yang dikelilingi rumah warga.
Renovasi baru mulai serius di tahun 1977. Lalu gempa 2006 sempat bikin rusak lagi, tapi pelan-pelan diperbaiki. Kini, sisa-sisa kejayaan Tamansari tetap bisa kita nikmati. Walau tidak lagi utuh seperti dulu, jejak kemegahannya masih terasa. Ada lorong misterius, kolam yang tenang, dan bangunan yang seolah berbisik: “Dulu aku taman raja, sekarang aku bagian dari kampungmu.”