Bagi Kesultanan Yogyakarta, pohon beringin (Ficus benjamina) bukanlah sekadar tanaman peneduh. Wujudnya yang besar, rindang, dan berusia panjang dipercaya sebagai perlambang kekuatan serta pengayoman raja terhadap rakyat. Tak heran jika puluhan beringin ditanam di area keraton, bahkan beberapa diberi nama khusus layaknya pusaka.
Di tengah Alun-Alun Utara berdiri sepasang beringin yang dikelilingi pagar persegi, karenanya disebut ringin kurung. Letaknya yang berada tepat di sumbu imajiner utara–selatan menjadikannya poros tata ruang Keraton Yogyakarta. Beringin di sisi barat dinamakan Kiai Dewadaru, sementara yang di sisi timur dikenal sebagai Kiai Janadaru.
Sebagai pusaka, keduanya dirawat melalui upacara Jamasan setiap bulan Sura. Tajuknya dipangkas berbentuk bundar menyerupai payung, simbol perlindungan keraton bagi masyarakat. Nama Dewadaru bermakna “cahaya ketuhanan”, sedangkan Janadaru berarti “cahaya kemanusiaan”. Penempatannya pun sarat filosofi: Dewadaru berdampingan dengan Masjid Gedhe sebagai pusat spiritual, sedangkan Janadaru sejajar dengan Pasar Beringharjo yang menjadi pusat ekonomi. Keseimbangan antara keduanya mencerminkan konsep Manunggaling Kawula Gusti—persatuan antara raja, rakyat, dan Tuhan.
Konon, bibit Dewadaru berasal dari Majapahit, sementara Janadaru dari Pajajaran. Sejarah mencatat keduanya pernah rubuh atau rusak, lalu diganti dengan bibit baru melalui upacara adat. Perubahan nama pun terjadi seiring waktu, misalnya Janadaru kini lebih dikenal sebagai Kiai Jayadaru.
Selain ringin kurung, terdapat 62 beringin lain yang ditanam mengelilingi alun-alun sehingga total menjadi 64 pohon—jumlah yang diyakini menyimbolkan usia Nabi Muhammad SAW dalam hitungan kalender Jawa. Empat di antaranya memiliki nama khas. Misalnya, dua pohon di sisi utara disebut Kiai Wok dan Kiai Jenggot, sedangkan dua di depan Bangsal Pagelaran dikenal dengan nama Agung dan Binatur.
Menariknya, sumber-sumber lama seperti Serat Salokapatra maupun peta tahun 1929 menunjukkan variasi nama yang berbeda, namun semuanya berhubungan dengan simbol tubuh manusia, khususnya rambut—cambang, kumis, janggut, hingga dada.
Di Alun-Alun Selatan, juga terdapat dua beringin kurung bernama Supit Urang. Ada pula pasangan beringin lain yang disebut Kiai Wok serta sebuah pohon di dekat kandang gajah. Sementara di area dalam keraton, beringin dapat ditemui di Plataran Kemagangan, Kamandhungan Lor, hingga Sitihinggil Lor. Salah satunya, yang ditanam pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII, dikenal dengan nama Sri Makutha Raja.
Bagi masyarakat Jawa, beringin adalah pohon hayat—pohon kehidupan. Akar yang kuat mencengkeram tanah, daun rimbun yang meneduhkan, serta usianya yang panjang menjadikannya lambang kekokohan dan kewibawaan. Sejak masa Mataram Islam, beringin bahkan diangkut dalam prosesi perpindahan keraton sebagai pusaka hidup.
Tak mengherankan jika muncul ungkapan “neres ringin kurung”, yang bermakna memberontak terhadap raja. Sebab dalam pandangan masyarakat, beringin adalah simbol kebesaran dan kekuasaan keraton, sekaligus pengingat bahwa raja berkewajiban melindungi rakyatnya sebagaimana beringin menaungi siapa pun yang berteduh di bawahnya.