Kalau sekarang kita bebas banget milih batik—mau motif kawung, parang, atau udan liris—asal ada duitnya, bisa langsung dipakai. Tapi dulu, khususnya di lingkungan keraton Jawa, batik itu nggak sesederhana “cocok–beli–pakai”. Ada yang namanya batik larangan.
Jangan salah, kata “larangan” di sini bukan berarti batiknya serem atau berhantu. Larangan artinya ya memang dilarang dipakai sembarangan. Hanya kalangan tertentu di keraton yang boleh mengenakan, sementara rakyat jelata cukup ngelus dada sambil melirik kainnya dari jauh.
Menurut catatan keraton, batik larangan dipercaya punya aura religius sekaligus magis. Makanya wajar kalau banyak motif batik yang dianggap punya nilai filosofi tinggi akhirnya dikategorikan sebagai larangan.
Di Keraton Yogyakarta, istilah resminya adalah Awisan Dalem. Setiap Sultan berhak menentukan motif apa saja yang jadi “privilege” khusus keraton. Misalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono I menetapkan Parang Rusak sebagai motif larangan pada 1785. Lalu bergeser ke masa Sultan HB VII yang menekankan motif huk dan kawung. Sementara di masa HB VIII, motif parang dan segala variannya jadi yang paling ditekankan.
Aturannya pun nggak main-main. Tahun 1927, pernah ada “Rijksblad van Djokjakarta” yang khusus mengatur soal siapa boleh pakai motif apa. Jadi kalau ada rakyat biasa nekat pakai parang barong, siap-siap saja kena masalah.
Sampai sekarang, motif larangan di Yogya masih lumayan banyak, sebut saja Parang Rusak Barong, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Udan Liris, Kawung, Rujak Senthe, dan masih banyak lagi.
Nah, Surakarta juga punya cerita sendiri. Sejak pecah dari Mataram gara-gara Perjanjian Giyanti, mereka bikin aturan batik larangan versi gagrak Surakarta. Misalnya, pada masa Paku Buwono III, keluar aturan resmi yang melarang pemakaian Batik Sawat, Parang Rusak, Sumangkiri, Bangun Tulak, sampai Lenga Teleng.
Aturannya sempat berubah di masa PB IV, tapi intinya sama: ada batik-batik tertentu yang cuma boleh dipakai raja, patih, atau keluarga keraton. Contohnya motif Parang Barong, itu mutlak hanya boleh dipakai raja. Sementara batik Cemukiran dengan ujung lung (daun rambat) boleh dipakai patih, tapi tetap tabu untuk rakyat biasa.
Kalau dipikir-pikir, batik larangan ini semacam “fashion statement” versi keraton. Tapi bukan sekadar gaya, melainkan identitas, simbol status, bahkan hukum tak tertulis yang mengatur siapa kamu dan sejauh mana posisimu di dunia keraton. Jadi ya, jangan heran kalau dulu kain selembar bisa bikin orang tahu siapa raja, siapa bangsawan, dan siapa rakyat jelata.