Kalau ngomongin makam, biasanya yang kebayang itu suasana sepi, sunyi, dan kadang agak bikin merinding. Tapi beda cerita kalau kita bahas Makam Raja Imogiri. Ini bukan makam sembarangan, melainkan rumah terakhir para raja Mataram Islam beserta keturunannya. Bayangin aja, satu kompleks pemakaman seluas 10 hektar isinya raja-raja top level dari Yogyakarta dan Surakarta.
Makam ini dibangun oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1632. Beliau ini raja ketiga Mataram Islam, sekaligus sosok yang bikin kerajaan itu mencapai masa kejayaan. Jadi wajar kalau makamnya juga dibuat megah, penuh simbol, dan tentu saja bersejarah.
Untuk sampai ke sana, pengunjung harus siap ngos-ngosan menaiki sekitar 300 anak tangga menuju bukit Merak, Imogiri, Bantul. Jadi, selain berziarah, sekalian juga olahraga betis.
Awalnya, Sultan Agung sebenarnya ingin dimakamkan di tanah suci Mekah, tepat di sebuah lokasi dengan tanah harum. Tapi seorang sahabat ulama memberi nasihat bijak: “Kalau begitu, rakyatmu nanti bakal kesulitan ziarah.” Akhirnya Sultan Agung pun membawa segenggam tanah harum itu ke Jawa, melemparkannya di daerah Giriloyo. Dari situlah kisah pembangunan makam dimulai.
Awalnya kompleks keluarga mau dibangun di Giriloyo. Tapi karena pengawas pembangunan (Panembahan Juminah) wafat dan dimakamkan di sana, Sultan Agung merasa tempat itu kurang pas untuk keturunan Mataram. Maka segenggam tanah harum berikutnya dilempar lagi, jatuhlah di Bukit Merak. Dari situ Imogiri berdiri, lengkap dengan filosofi: makam di tempat tinggi, dekat dengan langit, seperti keyakinan kuno bahwa arwah leluhur bersemayam di puncak.
Nama Pajimatan Imogiri sendiri unik. “Pajimatan” berasal dari kata jimat, tempat pusaka. Sementara “Imogiri” berarti gunung berawan atau gunung tinggi. Jadi, maknanya: gunung tinggi yang jadi tempat pusaka kerajaan. Tidak sekadar nama, tapi doa panjang yang melekat pada tempat ini.
Kompleks ini dibagi menjadi delapan kedaton alias kelompok makam. Mulai dari Kasultanagungan tempat Sultan Agung sendiri, sampai ke kedaton lain yang ditempati raja-raja Surakarta maupun Yogyakarta. Bisa dibilang, ini adalah “VIP cemetery” yang menyimpan sejarah politik, konflik, dan kejayaan Jawa dalam bentuk batu nisan.
Sebagai contoh:
Kedaton Sultan Agungan ? tempat Sultan Agung dan penerusnya.
Kedaton Kasuwargan Yogyakarta ? jadi rumah terakhir Sultan Hamengku Buwana I dan III.
Kedaton Saptarengga ? tempat Sultan Hamengku Buwana VII hingga IX.
Dan masih banyak lagi yang membuat tempat ini serasa museum terbuka, tapi dengan atmosfer spiritual yang kental.
Hingga kini, Makam Raja Imogiri tetap ramai diziarahi, terutama pada hari-hari tertentu. Orang datang bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk mengingat sejarah—tentang seorang raja yang pernah ingin dikubur di tanah suci, tapi akhirnya memilih dekat dengan rakyatnya.
Dan mungkin, saat kita mendaki ratusan anak tangga menuju puncak bukit, kita juga sedang belajar: bahwa perjalanan hidup manusia, seberapa agung pun, akhirnya berhenti di satu titik—di tanah, di bukit, di tempat yang penuh doa.