Mertolulut: Algojo Keraton yang Menunggu dengan Sabar

Kalau bicara soal Keraton Yogyakarta, kita biasanya langsung ingat hal-hal indah: tarian yang anggun, gamelan yang syahdu, atau sekadar abdi dalem yang setia mengabdi dengan pakaian khasnya. Tapi, jangan salah—di balik nuansa budaya nan adiluhung itu, ada juga sisi lain yang lebih “gelap”. Salah satunya adalah keberadaan abdi dalem Mertolulut, yang kerjanya bukan sekadar menjaga atau melayani, tapi jadi algojo kerajaan.

Nama “Mertolulut” sendiri terdengar sudah cukup bikin merinding. Diambil dari kata merto (menjaga) dan lulut (sabar menunggu kematian). Bayangkan, sejak awal memang ditakdirkan untuk sabar… menunggu orang dihukum mati.

Tugas Berat di Pacikeran

Dulu, abdi dalem Mertolulut tinggal di Kampung Mertolulutan—nama yang jelas bukan tanpa alasan. Mereka bertugas di sebuah tempat bernama Pacikeran, yang letaknya persis di depan tangga menuju Sitihinggil dari arah Pagelaran. Kata ciker berarti potongan jari. Ya, sekejam itu. Karena salah satu tugas mereka memang memotong jari para maling atau begal yang tertangkap.

Sekarang, lokasi Pacikeran masih bisa dilihat. Ada dua rumah kecil dengan patung manusia berpakaian adat Jawa di depannya. Patung itu menggambarkan dua sosok: Mertolulut dengan kumis bapangan, dan Singonegoro yang klimis.

Duo Algojo Keraton

Betul, Mertolulut tidak bekerja sendirian. Ia ditemani abdi dalem Singonegoro. Bedanya, Singonegoro kebagian hukuman “ringan” seperti potong tangan. Sedangkan Mertolulut, ah, dia spesialis kelas berat: pancung sampai gantung.

Menurut cerita, keberadaan mereka sudah ada sejak masa Sultan HB I, saat hukum di keraton masih berpegang pada prinsip Syariat Islam. Jadi, pencuri dipotong tangan, pembunuh dipancung, dan eksekusinya dilakukan di Alun-alun Utara, biasanya di antara dua pohon beringin kembar.

Bayangan di Balik Kemegahan Keraton

Membayangkan Mertolulut, kita jadi sadar bahwa sejarah itu tidak selalu tentang hal-hal indah yang bisa difoto lalu diunggah ke Instagram. Ada sisi kelam yang justru membuat sejarah terasa manusiawi. Keraton tidak hanya hidup dari gamelan dan tarian, tapi juga dari hukum dan ketegasan, termasuk keberanian untuk mengeksekusi keadilan dengan cara-cara yang, buat kita hari ini, mungkin terdengar ngeri.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak