Di Jawa, kota kerajaan selalu identik dengan benteng. Begitu pula dengan Mataram Islam—mulai dari Kotagede, Plered, Kartasura, Surakarta, hingga Yogyakarta—semuanya memiliki tembok pertahanan yang mengelilingi keraton. Bahkan dalam bahasa Sanskerta, kata kota sendiri berarti benteng.
Keraton Yogyakarta dibangun dengan dua lapisan tembok. Lapisan pertama adalah cepuri yang melingkupi kedhaton, pusat keraton. Di luar itu, ada tembok besar dan kokoh bernama Baluwarti, lebih akrab disebut Beteng. Baluwarti tidak hanya mengelilingi kedhaton, tapi juga rumah para kerabat Sultan, tempat tinggal Abdi Dalem, hingga pemukiman yang sekarang dikenal sebagai kawasan Jeron Beteng.
Menariknya, kata Baluwarti diyakini berasal dari bahasa Portugis baluarte yang berarti benteng. Denys Lombard, sejarawan Asia Tenggara, bahkan menyebut bahwa pengaruh Portugis masuk bersamaan dengan pembangunan Tamansari yang dirancang arsitek Portugis.
Tembok Baluwarti mulai dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755–1792). Bentuknya menyerupai persegi panjang, meski sisi timurnya lebih panjang karena di situ berdiri Istana Sawojajar, kediaman putra mahkota. Panjang benteng timur–barat mencapai 1200 meter, sementara utara–selatan sekitar 940 meter. Di luar benteng terdapat parit besar bernama jagang, lengkap dengan pagar bata dan pohon gayam yang berjajar rapi sebagai peneduh.
Awalnya, benteng hanya berupa susunan kayu gelondongan. Namun kemudian diperkuat dengan batu bata, campuran pasir, gamping, dan bata merah yang ditumbuk. Tingginya mencapai hampir lima meter, dengan pelataran di bagian dalam tempat prajurit berjaga.
Untuk keluar masuk, ada lima gerbang utama atau plengkung, masing-masing dengan panggung di atasnya dan meriam di sekitarnya. Plengkung itu adalah:
Plengkung Tarunasura/Wijilan (timur laut)
Plengkung Jagasura/Ngasem (barat laut)
Plengkung Jagabaya/Tamansari (barat)
Plengkung Nirbaya/Gadhing (selatan)
Plengkung Madyasura/Gondomanan (timur)
Masing-masing dilengkapi jembatan gantung yang bisa diangkat sehingga akses masuk terputus oleh parit. Pada masa lalu, plengkung hanya dibuka pagi hingga sore, lalu diubah menjadi pukul lima pagi sampai delapan malam, ditandai bunyi genderang prajurit.
Selain plengkung, ada pula bangunan Pojok Beteng di keempat sudut, berbentuk menjorok keluar seperti bastion bergaya Eropa. Dari sinilah meriam ditempatkan, meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia. Pembangunan ini selesai tahun 1782 dan menjadi bagian terakhir dari proyek Hamengku Buwono I.
Benteng ini ikut menjadi saksi banyak peristiwa penting. Pada 1812, saat Geger Sepehi, pasukan Inggris menyerang dan menghancurkan sebagian Pojok Beteng Timur Laut. Plengkung Madyasura pun ditutup permanen karena dianggap rawan dimasuki musuh. Baru pada 1923, di masa Hamengku Buwono VIII, gerbang itu dibuka kembali.
Seiring waktu, benteng tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan. Dua peristiwa besar—gempa 1867 dan pendudukan Jepang 1942—membuat area sekitar benteng berubah menjadi pemukiman. Para Abdi Dalem dan rakyat yang membutuhkan tempat tinggal menempati sisi-sisi benteng, bahkan sebagian merusaknya untuk memperluas rumah. Akibatnya, kini banyak bagian benteng yang hilang tertutup bangunan.
Dari lima plengkung, kini hanya dua yang tersisa utuh: Plengkung Wijilan dan Plengkung Gadhing. Sementara dari empat Pojok Beteng, tiga masih kokoh: Pojok Wetan, Kulon, dan Lor. Beberapa bagian tembok masih bisa ditelusuri, terutama di kawasan antara Plengkung Gadhing hingga Pojok Beteng Wetan.
Benteng yang dulu berfungsi sebagai garis pertahanan kini berubah menjadi bagian dari denyut kehidupan kota. Dari masa ke masa, ia menjadi saksi perubahan: dari simbol eksklusivitas keraton hingga kini menjadi ruang terbuka bagi rakyat yang menempatinya.