Kalau di rumah kita dapur itu urusannya ibu, bapak, atau kadang tukang catering saat ada hajatan, di Keraton Yogyakarta dapur punya levelnya sendiri. Namanya Pawon Ageng, dapur khusus yang tugasnya cuma satu: memastikan Sultan dan keluarga nggak pernah kekurangan hidangan. Bukan sekadar masak, tapi ada tata aturan, tradisi, dan sejarah panjang yang menempel di setiap tungku.
“Pawon” sendiri artinya dapur. Kata ini berasal dari “awu”, yang berarti abu—karena dapur tradisional zaman dulu selalu akrab dengan abu dari tungku kayu. Dari sanalah muncul istilah pawon. Dan di keraton, pawon bukan sekadar tempat masak, tapi bagian penting dari urusan adat dan kehidupan sehari-hari Sultan.
Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, misalnya, keraton punya lima pawon utama dengan tugas berbeda: Pawon Wetan, Pawon Kilen, Pawon Patehan, Pawon Prabeya, dan Pawon Gondokusuman. Masing-masing ada juru masaknya, ada stafnya, dan semua bekerja dalam sistem yang disebut Boja.
Mari kita intip satu per satu.
Pawon Wetan alias Pawon Sekulanggen: letaknya di timur Plataran Magangan. Dulu tugasnya nyiapin nasi bungkus berisi tempe bacem untuk Abdi Dalem, juga sesaji untuk upacara keraton. Pemimpinnya? Seorang perempuan bernama Nyi Lurah Sekulanggi. Sekarang, Pawon Sekulanggen lebih banyak ngurus sesaji harian, bergantian dengan Pawon Gebulen.
Pawon Kilen alias Pawon Gebulen: ada di barat Plataran Magangan. Dari sini lahir masakan kebuli, lengkap dengan nasi rames dan sop kimlo, yang disajikan dalam mangkuk bertutup. Yang mimpin disebut Paring Dalem Raden Ayu Gebuli. Sekarang fungsinya serupa: bikin sesaji harian dan juga suguhan untuk upacara besar.
Pawon Patehan: ini dapurnya minuman. Dari sinilah teh untuk Sultan disajikan tiap jam enam pagi dan sebelas siang. Bukan teh biasa, tapi teh yang dibawa oleh Abdi Dalem Keparak untuk Sultan. Sampai sekarang tradisinya masih jalan, hanya bedanya teh itu kini jadi sesaji di Bangsal Prabayeksa, bukan lagi untuk diminum Sultan.
Pawon Prabeya dan Gondokusuman: dua pawon yang bertugas bikin Dhahar Dalem, makanan sehari-hari Sultan. Pawon Prabeya masih aktif sampai sekarang, menyajikan makanan untuk Sultan lewat Abdi Dalem Gladhag. Tapi Pawon Gondokusuman sudah tak lagi difungsikan.
Selain pawon resmi, ada juga pawon pribadi milik para istri Sultan (Garwa Dalem). Dulu, setiap istri punya dapur sendiri—mulai dari Pawon Pintakan, Pawon Windyaningrum, sampai Pawon Hastungkaran. Tapi sekarang, karena Sultan Hamengku Buwono X memilih monogami, dapurnya pun cukup satu: Pawon Karaton Kilen di kediaman beliau. Dari sinilah makanan Sultan sehari-hari disiapkan.
Kalau dipikir-pikir, dapur keraton ini kayak labirin kuliner penuh makna. Nggak cuma soal makan enak, tapi juga soal simbol, tradisi, dan cara keraton menjaga wibawa lewat hal paling sederhana: makanan di meja Sultan.