Kalau ditanya soal identitas Jawa, orang biasanya langsung nyebut batik, wayang, gamelan, atau gudeg. Jarang banget ada yang nyeletuk, “Aksara Jawa!” Padahal, huruf-huruf unik yang bentuknya kayak cacing menari itu adalah salah satu simbol paling penting dari keberadaan orang Jawa.
Masalahnya, makin ke sini, aksara Jawa mulai redup. Generasi muda, apalagi yang tumbuh di era medsos, kayaknya lebih fasih nulis pake emoji daripada nulis "ha-na-ca-ra-ka". Bukan mau nyalahin siapa-siapa, tapi realitanya memang begitu. Karena itu, beberapa komunitas, kayak tim Sidasamekta Kepek, mencoba ngajak kita buat “ngelingi” lagi soal aksara Jawa. Anggap saja ini kelas sejarah singkat yang dikemas biar nggak bikin ngantuk.
Nah, kalau ngomongin asal-usul aksara Jawa, ternyata ada dua versi besar. Satu versi tradisional, yang dasarnya cerita rakyat turun-temurun. Satunya lagi versi ilmiah, yang nyoba ngulik aksara ini dengan pendekatan akademik.
Mari kita mulai dari versi tradisional dulu. Cerita ini erat banget kaitannya dengan legenda Aji Saka—seorang tokoh legendaris yang sering dikaitkan sebagai pencipta aksara Jawa. Ceritanya, Aji Saka ninggalin dua pengikut setianya, Dora dan Sembada, di Pulau Majeti buat jaga pusaka keris dan perhiasan. Pesannya jelas: jangan kasih barang-barang itu ke siapa pun selain dirinya.
Singkat cerita, Aji Saka kemudian jadi raja di Medangkamulan. Dora yang kepo, akhirnya pergi nyusul tanpa izin dan diminta balik lagi ke Majeti buat ambil barang-barang itu. Tapi Sembada, yang patuh banget sama pesan awal, nggak mau nyerahin. Ujung-ujungnya, dua sahabat itu malah duel sampai sama-sama tewas.
Aji Saka baru sadar kalau dirinya bikin blunder. Sebagai wujud penyesalan, ia menciptakan rangkaian aksara yang kita kenal sekarang sebagai sastra sarimbangan—20 huruf Jawa yang dibagi jadi empat baris:
Ha-na-ca-ra-ka
Da-ta-sa-wa-la
Pa-dha-ja-ya-nya
Ma-ga-ba-tha-nga
Keren, kan? Satu kisah persahabatan, kesetiaan, dan tragedi akhirnya jadi dasar lahirnya aksara yang seharusnya kita banggakan.
Masalahnya, hari ini, aksara Jawa lebih sering nongkrong di papan nama jalan atau buku pelajaran yang bikin pusing, daripada hidup di keseharian. Padahal, kalau mau jujur, aksara ini nggak kalah estetik sama font-font keren yang kita pakai buat feed Instagram.
Mungkin sudah saatnya kita nggak cuma sekadar tahu kalau ada “ha-na-ca-ra-ka,” tapi juga mulai berani nulis, baca, dan menghidupkannya lagi. Karena kalau bukan kita, lalu siapa?
FhHQVsXz
29 Ags 2025 09:56 WIB 1