Kalau kita berjalan-jalan di Yogyakarta, sering nggak sih kepikiran kenapa nama kampung di kota ini terdengar unik-unik? Ada Wirobrajan, Prawirotaman, sampai Bugisan. Bukan sekadar nama, ternyata semua itu menyimpan jejak sejarah panjang tentang para prajurit keraton yang dulu pernah bermukim di sana.
Sejak era awal Kasultanan Yogyakarta, terutama di masa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan II, keraton punya barisan prajurit yang kuat dan terorganisir. Ada belasan kesatuan lengkap dengan Abdi Dalem prajurit pengawal putra mahkota hingga pasukan pemburu raja. Mereka awalnya tinggal di dalam benteng baluwarti—posisi strategis karena langsung melindungi keraton.
Namun, sejarah berkata lain. Tahun 1812, Inggris menyerbu Yogyakarta. Peristiwa itu dikenal sebagai Geger Sepehi. Benteng jebol, keraton jatuh, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan lalu diasingkan ke Penang. Dari situ, Inggris mulai ikut campur: jumlah prajurit dikurangi, kekuatan militer dilemahkan, bahkan aturan baru dibuat lewat perjanjian dengan Raffles supaya pasukan keraton tidak lagi bisa bertindak layaknya angkatan perang.
Perubahan besar itu berlanjut di masa Hamengku Buwono IV. Pemukiman prajurit di dalam benteng dipindahkan keluar. Bayangkan suasananya: rumah-rumah kayu tradisional dibongkar, potongan bangunan dipanggul beramai-ramai, lalu didirikan kembali di lokasi baru. Suara gaduh gotong-royongnya bahkan digambarkan jelas dalam Serat Rerenggan Keraton.
Nah, dari sinilah asal-usul kampung prajurit yang kini kita kenal. Misalnya:
Wirobrajan berasal dari prajurit Wirabraja, kini jadi nama kecamatan.
Prawirotaman, dulu markas prajurit Prawiratama, sekarang malah populer dengan hotel dan kafe untuk wisatawan.
Bugisan jelas berhubungan dengan pasukan Bugis yang jadi bagian keraton.
Mantrijeron dari prajurit Mantrijero, sekarang bahkan jadi nama kecamatan.
Ada juga Nyutran, prajurit kiriman dari Madura, dan Jageran, pasukan pemburu raja di hutan Krapyak (dari kata Belanda jager).
Daftar ini masih panjang: Suronggaman, Surokarsan, Ketanggungan, Patangpuluhan, Dhaengan, dan lain-lain. Semua nama kampung itu bukan kebetulan, melainkan penanda sejarah yang hidup dalam lanskap kota.
Kini, memang tidak ada lagi prajurit keraton yang tinggal di sana. Warganya sudah bercampur dengan masyarakat umum. Tapi jejak sejarahnya tetap terasa—entah lewat nama kampung, patung prajurit di sudut jalan, atau sekadar cerita turun-temurun.
Toponim di Yogyakarta bukan cuma alamat. Ia adalah arsip sejarah yang terbuka di depan mata, mengingatkan kita bagaimana kota ini tumbuh, bertahan, dan beradaptasi tanpa benar-benar meninggalkan akar budayanya.
Margaret Julia
07 Sep 2025 05:56 WIB Hello, We have a promotional offer for your website go.id. What if you could instantly launch your own ready-made AI Store packed with 100s of business-boosting GPTs and 10,000s of powerful prompts—helping local businesses supercharge their content, social media, and lead generation… while you keep 100% of the profits? See it in action: https://aistore.vinhgrowth.com You are receiving this message because we believe our offer may be relevant to you. If you do not wish to receive further communications from us, please click here to UNSUBSCRIBE: https://vinhgrowth.com/unsubscribe?domain=go.id Address: 60 Crown Street, London Looking out for you, Margaret Julia