Dalam gelap yang pekat dan langkah-langkah tanpa suara, malam satu Suro di Yogyakarta menyimpan satu ritus yang menggetarkan: Mubeng Beteng. Di luar hiruk-pikuk wisata Malioboro dan gemerlap lampu kota, ada jalur sunyi yang dilintasi kaki-kaki telanjang dalam diam. Ini bukan sekadar ritual, ini adalah cara orang Jawa, khususnya Yogyakarta, menyapa tahun baru Jawa dengan hening dan hormat.
Mubeng Beteng secara harfiah berarti mengelilingi benteng. Tapi tidak asal jalan muter-muter. Ini adalah ritual spiritual yang dilakukan dalam keheningan mutlak—Tapa Bisu. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut para peserta. Tidak pula suara sandal atau sepatu, sebab semua berjalan tanpa alas kaki. Dalam kesunyian itu, segala hal yang biasanya dilupakan dalam hiruk dunia, tiba-tiba jadi terasa dekat: desir angin, detak jantung, bahkan denyut rasa bersalah.
Tradisi ini dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi kawasan benteng Keraton Yogyakarta. Rutenya meliputi Keben, Ngabean, Pojok Beteng Kulon, Plengkung Gading, Pojok Beteng Wetan, Jalan Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara, dan kembali lagi ke Keben. Total jaraknya sekitar empat kilometer. Empat kilometer penuh perenungan, introspeksi, dan keheningan yang khusyuk.
Sebelum prosesi Mubeng Beteng dimulai, doa-doa dilantunkan dari dalam keraton: doa penutup tahun, doa menyambut tahun baru, serta doa khusus bulan Suro. Prosesi ini juga menjadi momen bagi pemangku agama keraton untuk memberikan restu spiritual kepada seluruh peserta. Di sinilah terasa bahwa Suro bukan sekadar penanggalan, tapi ruang waktu yang dipenuhi makna.
Yang menarik, siapa saja boleh ikut. Tidak hanya abdi dalem, tapi masyarakat umum pun bisa turut serta. Syaratnya? Hening, dan tanpa alas kaki. Itu saja. Tapi dalam kesederhanaan aturan itu, tersimpan pelajaran besar: bahwa kadang, kita memang perlu diam, mundur sejenak dari kebisingan dunia, dan merenungi langkah yang sudah dan akan ditempuh.
Mubeng Beteng bukan sekadar tradisi. Ia adalah latihan batin. Latihan untuk menahan diri, mendengarkan suara hati, dan menyadari bahwa hidup, sesekali, memang perlu dipijak tanpa pelindung apa pun. Langsung pada tanah, pada sejarah, pada nilai-nilai yang nyaris terlupakan.
Dan meski hanya berjalan dalam diam di malam yang sunyi, Mubeng Beteng membawa kita pada perjalanan yang jauh lebih panjang: perjalanan ke dalam diri sendiri. Dalam tiap langkah, seolah-olah kita sedang mengetuk pintu batin, menanyakan, "Sudah sejauh mana aku berjalan? Dan ke mana aku hendak menuju?"
Malam satu Suro di Yogyakarta tidak pernah benar-benar sepi. Sebab dalam diamnya Mubeng Beteng, jiwa-jiwa sedang ramai berdialog dengan dirinya sendiri.