Di tengah kehidupan modern yang serba kilat dan digital, masih ada satu ritus tua yang tak tergilas zaman: Jamasan Pusaka. Sebuah tradisi yang tampaknya sederhana—membersihkan benda pusaka—namun menyimpan lapisan makna yang dalam, sakral, dan tak tergantikan oleh pembersih ultrasonik sekalipun. Inilah cara masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta, menjaga ikatan spiritual dengan masa lalu mereka.
Jamasan Pusaka atau Siraman Pusaka adalah ritual pensucian benda-benda keramat milik keraton, seperti keris, tombak, gamelan, hingga kereta kencana. Tapi jangan bayangkan ini semacam cuci steam ala kendaraan roda empat. Ini adalah upacara, dengan air bunga, doa-doa, dan ketelitian tangan para abdi dalem yang tak bisa sembarangan orang tiru.
Tradisi ini biasa digelar saat bulan Suro, bulan pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam. Tanggal pelaksanaannya pun tidak asal tunjuk—Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon dipilih karena dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Sebuah perpaduan antara perhitungan waktu dan keyakinan akan harmoni kosmis.
Di Keraton Yogyakarta, acara biasanya dimulai dari Jamasan Tumbak Kanjeng Kiai Ageng Plered, salah satu pusaka paling dihormati. Siraman dilakukan dengan hati-hati, setiap lekuk pusaka dibersihkan sambil membaca doa-doa tertentu. Air bekas jamasan ini tidak dibuang sembarangan. Banyak warga percaya bahwa air tersebut membawa berkah, bahkan ada yang membawanya pulang untuk disimpan atau dipercikkan di rumah.
Jamasan bukan sekadar membersihkan benda mati. Ia adalah pengingat. Bahwa dalam hidup, kita pun butuh "jamasan": membersihkan batin, merawat kenangan, menjaga warisan. Di balik keris berkarat atau tombak berusia ratusan tahun, tersimpan nilai-nilai luhur tentang keberanian, kesetiaan, dan perjuangan. Merawatnya adalah merawat diri, menjaga jati diri.
Ritus ini juga menjadi ajang pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Generasi muda yang mungkin lebih akrab dengan digitalisasi mulai diajak mengenal akar budayanya. Tak jarang para pelajar, peneliti, hingga wisatawan mancanegara datang menyaksikan prosesi ini dengan takzim. Kamera mereka sibuk bekerja, tapi suasana tetap khidmat. Sebab di hadapan pusaka, tak ada yang benar-benar bisa bersikap biasa saja.
Jamasan Pusaka adalah salah satu cara orang Jawa menaruh hormat pada sejarah, tanpa perlu suara keras atau orasi membahana. Hanya air, doa, dan tangan-tangan setia yang bekerja dalam diam. Diam-diam, mengingatkan kita bahwa ada nilai-nilai lama yang justru kian relevan di tengah dunia yang serba cepat ini.