Tradisi Malam Satu Suro: Spiritualitas dan Sakralitas Tahun Baru Jawa

Di tengah gemerlap kembang api dan gegap gempita tahun baru masehi, masyarakat Jawa punya caranya sendiri dalam menyambut pergantian tahun: hening, syahdu, dan penuh makna. Itulah tradisi malam Satu Suro, sebuah ritual sakral yang tak hanya merayakan awal tahun, tetapi juga mengajak siapa pun yang percaya untuk menyelami diri, mengolah batin, dan menyatukan langkah dalam kesunyian.

Satu Suro, atau tanggal satu bulan Suro dalam penanggalan Jawa, bertepatan dengan satu Muharram dalam kalender Hijriyah. Namun maknanya lebih dari sekadar angka dalam almanak. Ia adalah bulan suci, penanda babak baru, saat yang diyakini penuh energi spiritual. Di masa Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung Hanyakrakusuma merancang sistem penanggalan Jawa yang menggabungkan unsur Islam dan budaya lokal. Dari sinilah lahir bulan Suro—bulan untuk diam, merenung, dan membersihkan jiwa.

Tradisi ini menolak hingar-bingar. Di bulan Suro, pesta dan perayaan besar dianggap tak patut. Bukan karena larangan tegas, melainkan karena kesadaran akan nilai-nilai laku prihatin. Masyarakat memilih untuk menunduk, bukan melonjak. Dalam tradisi Kejawen, inilah saatnya menarik diri dari hiruk-pikuk dunia, membersihkan pusaka, berjalan dalam sunyi, menyantap bubur sederhana, dan memohon keselamatan.

Di Keraton Yogyakarta, ritual Jamasan Pusaka menjadi pembuka. Tosan aji, kereta, gamelan—semua benda sakral dicuci, dimandikan dengan penuh khidmat. Sebuah penghormatan kepada leluhur, dan sekaligus pengingat akan tanggung jawab menjaga warisan.

Malam harinya, ribuan orang berkumpul dalam diam untuk mengikuti Mubeng Beteng. Rute sejauh 4 kilometer mengelilingi benteng keraton dilalui tanpa alas kaki, tanpa suara, dalam suasana Tapa Bisu. Tak ada obrolan, tak ada tawa. Hanya langkah-langkah pelan yang menggema dalam kesunyian malam. Sebuah perjalanan lahir batin, menelusuri waktu sambil menunduk pada semesta.

Di Pura Pakualaman, tradisi serupa bernama Lampah Ratri. Mengitari wilayah kadipaten dalam gelap, para peserta menyatukan niat untuk memohon restu dan kekuatan menghadapi tahun baru. Prosesi ini bukan tontonan. Ia adalah laku.

Dan di akhir malam yang panjang, ada semangkuk Bubur Suran menanti. Bubur putih gurih manis, dengan tujuh jenis kacang, melambangkan hari-hari dalam seminggu. Dalam setiap sendoknya, terselip harapan akan keseimbangan dan rasa syukur yang tak putus. Makan bersama menjadi penutup yang menghangatkan, sederhana namun sarat makna.

Tradisi Satu Suro bukan sekadar warisan leluhur. Ia adalah penanda bahwa dalam hidup yang serba cepat, ada saat untuk berhenti. Untuk diam. Untuk mendengar suara dari dalam. Dan mungkin, untuk mulai lagi, tapi kali ini dengan lebih tenang.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak