Tapa Bisu Salah Satu Tradisi Malam Satu Suro

Malam satu Suro di Yogyakarta bukan hanya tentang langkah kaki yang berderet tanpa alas, mengelilingi benteng keraton dalam diam. Ia juga tentang sunyi yang dipilih, bukan dipaksakan. Tentang Tapa Bisu, sebuah tradisi yang mengajak manusia untuk tidak berkata-kata, tidak bersuara, dan tidak berisik—baik secara lahiriah maupun batiniah.

Tapa Bisu adalah inti dari ritual Mubeng Beteng, namun ia juga bisa berdiri sendiri sebagai bentuk pertapaan modern yang masih mengakar kuat dalam kebudayaan Jawa. Dalam keheningan itu, setiap peserta diminta untuk benar-benar menundukkan diri. Tidak hanya membisu secara verbal, tetapi juga membungkam ego dan kegaduhan hati.

Sebelum langkah-langkah kaki mulai bergema pelan di jalanan Yogyakarta yang sudah mulai hening, acara ini biasanya dibuka dengan lantunan tembang macapat. Dalam bait-bait tembang itu, terselip doa-doa dan harapan—yang tidak diucapkan dengan suara, tetapi dengan rasa. Ini adalah bentuk komunikasi lain yang melampaui kata-kata. Suara hati yang diperdengarkan pada langit.

Tapa Bisu bukan sekadar ritual diam. Ia adalah bentuk tertinggi dari kontemplasi. Di mana manusia kembali pada dirinya, merefleksikan jalan hidupnya selama satu tahun ke belakang, dan mengurai harap yang masih tersimpan untuk satu tahun ke depan. Dalam sunyi itu, masing-masing orang membawa doa, penyesalan, dan permintaan ampunan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Yang unik, justru dalam keramaian yang tidak bersuara itulah, Tapa Bisu menjadi momen yang terasa sangat personal. Ribuan orang berjalan bersama, tapi tidak saling menyapa. Tidak ada basa-basi, tidak ada selfie, tidak ada obrolan ringan. Semua larut dalam semacam kesunyian kolektif yang nyaris mistis.

Bagi banyak orang, ikut Tapa Bisu seperti menempuh perjalanan ke dalam diri sendiri. Satu-satunya suara yang terdengar adalah detak jantung dan langkah kaki. Tidak jarang, momen ini justru membawa air mata yang jatuh diam-diam, entah karena haru, entah karena penyesalan, atau sekadar karena merasa dekat sekali dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tapa Bisu adalah pengingat bahwa dalam hidup yang riuh, kita butuh jeda. Butuh ruang untuk diam. Butuh waktu untuk tidak bicara, hanya mendengar—terutama mendengar diri sendiri. Sebab barangkali, dalam keheningan itulah, jawaban-jawaban yang selama ini kita cari sedang berbisik pelan.

Tradisi ini terus lestari, bukan hanya karena warisan leluhur, tetapi karena ia menjawab kebutuhan spiritual manusia yang modern sekalipun: kebutuhan untuk sejenak hening dan kembali ke dalam. Dan Yogyakarta, dengan segala magisnya, masih menyediakan ruang untuk itu setiap malam satu Suro.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak