Dalam suasana yang masih diselimuti khidmat malam satu Suro, selepas langkah sunyi Mubeng Beteng dan doa-doa yang melangit dalam keheningan Tapa Bisu, ada satu sajian yang kemudian disuguhkan: Bubur Suran. Sebuah kuliner yang tak sekadar mengenyangkan, tapi juga sarat makna dan simbolisme. Ia hadir bukan hanya sebagai penutup prosesi, tapi sebagai lambang syukur dan penyambung doa dalam bentuk yang bisa disantap.
Bubur Suran—atau biasa juga disebut Bubur Suro—adalah kuliner khas bulan Suro yang biasanya hanya bisa ditemukan pada saat-saat tertentu saja, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta. Meski hanya bubur, penyajiannya tak sembarangan. Ada filosofi dalam tiap takaran, doa dalam tiap sendokan.
Bubur ini dimasak dari beras yang dibumbui santan, garam, serai, dan jahe. Rasanya gurih, dengan aroma yang hangat, mengajak siapa pun yang mencicip untuk larut dalam keintiman rasa dan suasana. Tapi, yang membuatnya istimewa adalah topping-nya: tujuh jenis kacang. Ada kacang tanah, kacang mede, kacang kedelai, kacang hijau, kacang tholo, kacang bogor, dan kacang merah. Tujuh jenis kacang yang tidak hanya menambah tekstur dan rasa, tapi juga makna.
Angka tujuh sendiri bukan angka sembarangan dalam budaya Jawa. Ia melambangkan tujuh hari dalam seminggu. Dalam semangkuk bubur yang sederhana itu, terselip ajakan untuk senantiasa bersyukur—setiap hari, bukan hanya di hari-hari besar. Setiap suapan menjadi pengingat halus bahwa rezeki tak hanya soal besar-kecilnya, tapi tentang cara kita menerimanya.
Lauk pauk yang menemani Bubur Suran pun tak main-main. Biasanya ada opor ayam, sambal goreng, kadang juga ditambahkan telur pindang atau tempe bacem. Kombinasi ini bukan semata-mata soal kuliner, tapi juga representasi keharmonisan. Manis, pedas, gurih, dan rempah yang berpadu seperti kehidupan itu sendiri—penuh rasa yang harus dijalani dengan lapang dada.
Menyantap Bubur Suran selepas seluruh prosesi malam satu Suro adalah bentuk penutup yang lembut. Setelah refleksi, doa, dan tapabrata, kita kembali ke hal yang paling mendasar dan paling membumi: makan bersama. Karena dalam budaya Jawa, makan tidak hanya soal nutrisi, tapi juga soal menyatukan rasa. Rasa lapar, rasa syukur, rasa kebersamaan.
Dan di situlah letak kekuatan tradisi ini: ia menyatukan spiritualitas dengan keseharian. Menyantap Bubur Suran bukan hanya soal bubur. Ia tentang merayakan hidup dengan penuh kesadaran dan keheningan. Seperti doa yang tidak selalu perlu diucap, kadang cukup disuapkan.