Jogja itu istimewa, dan keistimewaan itu bukan cuma soal keratonnya atau gudegnya yang manis semanis kenangan. Tapi juga soal pasarnya—iya, pasar tradisional yang dari dulu sampai sekarang masih jadi tempat belanja, tempat ngobrol, tempat ngopi, bahkan tempat jodohan (iya serius, kadang bisa ketemu jodoh pas beli cabai). Yang menarik, beberapa pasar di Jogja ini umurnya bahkan lebih tua dari umur negara kita. Bayangin, mereka sudah ada ratusan tahun yang lalu dan masih berdiri sampai sekarang. Ini dia lima pasar legendaris yang bikin Jogja nggak pernah kehabisan cerita.
Pasar ini bukan kaleng-kaleng. Berdiri sejak tahun 1549, Pasar Legi Kotagede bahkan sudah ramai lebih dulu daripada Kerajaan Mataram Islam. Pendiriannya pun nggak main-main—langsung oleh Ki Ageng Pamanahan, leluhur para raja Mataram. Di sinilah dulu orang-orang jualan, tukar kabar, sampai mungkin juga debat politik ala zaman dulu (siapa tahu, ya?). Sekarang, pasar ini tetap eksis, jadi tempat belanja dan destinasi wisata sejarah. Belanja di sini tuh rasanya kayak nyentuh nadi sejarah.
Siapa yang belum pernah ke Beringharjo, berarti belum sah melancong ke Jogja. Pasar ini letaknya di jantung Malioboro dan sudah jadi pusat ekonomi sejak tahun 1758, tepat saat Keraton Yogyakarta berdiri. Awalnya cuma hutan beringin, lalu disulap jadi pasar yang sekarang jadi tempat belanja batik, oleh-oleh, sampai herbal buat jaga kesehatan dompet. Nama “Beringharjo” sendiri baru resmi dipakai tahun 1929. Tapi sejak dulu, pasar ini nggak pernah sepi, dan selalu jadi tempat favorit buat nyari harga miring dan cerita hidup orang banyak.
Pasar Ngasem dulu terkenal sebagai pasar burung, didirikan tahun 1809 saat Sri Sultan Hamengku Buwono II masih pegang kendali. Yang bikin unik, pasar ini awalnya danau—iya, danau beneran—yang kemudian dikeringkan dan diubah jadi tempat jual beli unggas. Meski pasar burungnya pindah sejak 2010, kawasan Ngasem masih hidup. Sekarang jadi tempat acara budaya dan seni, dan tentu saja masih cocok buat ngopi sambil mikirin hidup.
Pasar yang satu ini sudah ada sejak abad ke-19. Lokasinya deket banget sama Tugu Pal Putih, dan katanya nama Kranggan diambil dari Tumenggung Rangga Prawirasantika, tokoh yang berjasa mendirikan pasar ini. Kranggan itu semacam versi real-life dari Instagram Explore—apa aja ada: sayur, daging, jajanan pasar, dan cerita para ibu-ibu yang lebih update dari berita online. Tiap kali ke sana, suasananya selalu hidup, bahkan di hari Senin pagi yang biasanya suram.
Sleman juga nggak mau kalah. Pasar Gamping ini katanya sudah ada sejak sebelum Kerajaan Mataram pecah jadi dua. Dulu, pasar ini jadi tempat persinggahan pedagang dari penjuru Jawa. Sekarang? Dia tetap berdiri gagah sebagai pasar induk yang buka 24 jam. Tempat di mana sayur-mayur dari berbagai daerah datang, dan aktivitas ekonomi terus berdenyut tanpa henti. Di sini, malam dan siang kayak nggak ada bedanya. Selalu ramai, selalu ada kehidupan.
Pasar-pasar ini bukan cuma tempat belanja, tapi juga semacam museum hidup. Tiap sudutnya menyimpan cerita: tentang bagaimana Jogja dibangun, bagaimana warganya bertahan, dan bagaimana tradisi bisa tetap hidup meski zaman terus berganti. Mungkin lain kali kalau mampir ke salah satu pasar ini, jangan cuma cari diskon. Coba juga hirup aromanya, dengarkan obrolannya, dan rasakan denyutnya—karena di sanalah Jogja yang sesungguhnya.