Hasilnya dapat terlihat dari manekin yang dihasilkan pada masa Belanda tersebut, postur tubuhnya dibuat berdiri tegak, bentuk posisi jari untuk menari yakni posisi tangan berbentuk ngithing yaitu posisi ibu jari menempel dengan jari tengah. Patung tersebut didandani selayaknya penari Bedhaya mengenakan dodot banguntulak, kain cindhe kembang berwarna merah dan batik motif parang. Manekin ini juga memakai perhiasan selayaknya pengantin Jawa seperti kelat bahu, gelang, kalung. Bagian rambut digelung berbentuk sanggul bokor mengkureb lengkap. Bahkan hiasan wajah manekin dirias dengan tata rias pengantin seperti hiasan alis berbentuk tanduk rusa meskipun bentuknya tak seperti normalnya riasan pegantin Jawa yang ditemui hari ini.
Dari koleksi foto-foto lama Museum Sonobudoyo, terlihat manekin tersebut dipajang tepat ditengah ruang pamer museum bersama dengan koleksi lain yang berhubungan dengan budaya Jawa. Uniknya, manekin tersebut kini menjadi salah satu masterpiece koleksi Museum Sonobudoyo modern karena keberadaannya yang telah bertahan sejak museum ini berdiri. Warisan dari pemerintahan kolonial tersebut kini tersimpan di storage koleksi.
Manekin adalah cara termudah untuk memberikan visualisasi sesuatu yang kompleks. Pembuatan yang manekin penari Bedhaya tersebut merupakan cara bercerita yang sederhana dan ringkas untuk mengkontruksi sebuah tarian sakral kebudayaan Jawa yang memiliki nilai-nilai simbolis dan magis dalam setiap gerak dan riasnya. Kisah rumit itu kemudian disederhanakan melalui patung yang beku menyembunyikan gerak dinamis dan kisah perempuan yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk berlatih tak hanya fisik namun juga latihan untuk mengasah batik seorang perempuan Jawa.
Hari ini amat mudah menemukan manekin-manekin di pojok-pojok pameran museum. Mereka hadir untuk dianggap sebagai citra dari dunia sebenarnya yang dibekukan dalam sebuah patung. Museum Sonobudoyo sendiri memiliki banyak patung manekin perempuan- terutama di ruang pamer Unit II Candrakirana, mulai dari patung yang berkisah tengah membatik atau manekin peraga busana-busana perempuan Jawa yang berdiri kaku dengan sorot mata beku. Mereka disandingkan bersama dengan koleksi pameran museum yang bercerita tentang perempuan berupaya hadir sebagai narasi sederhana kegiatan domestik perempuan serta menjadi refleksi identitas para pengunjung museum yang sempat menengok keberadaan patung-patung tersebut. Kisah perempuan yang begitu kompleks disederhanakan dengan visualitas manekin yang beku dan kosong.