Gamelan Sekaten: Irama Abadi yang Menyatukan Jogja di Alun-Alun

Kalau bicara tentang Sekaten di Jogja, rasanya nggak mungkin lepas dari suara gamelan yang mengalun dari Masjid Gedhe Kauman. Namanya Gamelan Sekati—pusaka tua yang suaranya sudah jadi tanda dimulainya hajatan besar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bukan sembarang gamelan, karena sejak dulu ia hanya dimainkan untuk upacara adat keraton alias Hajad Dalem.

Menariknya, Gamelan Sekati ini bukan cuma satu set, tapi dua sekaligus: Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo. Dan tentu saja, di balik bunyi merdu keduanya, ada kisah sejarah panjang yang bikin bulu kuduk sedikit meremang.

Dari Mataram ke Jogja dan Solo

Sejarahnya lumayan jauh ke belakang. Konon, Gamelan Sekati awalnya merupakan pusaka Kerajaan Mataram, berupa dua perangkat gamelan: Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Keduanya dibuat di era Sultan Agung sekitar tahun 1644 M.

Nah, ketika Mataram dipecah lewat Perjanjian Giyanti, dua gamelan ini pun “berpisah” nasib. Yogyakarta kebagian Kyai Guntur Madu, sementara Surakarta membawa pulang Kyai Guntur Sari. Karena nggak rela setengah-setengah, Sri Sultan Hamengku Buwono I kemudian bikin duplikat dari Guntur Sari, dan lahirlah Kyai Nogo Wilogo. Lengkaplah sudah pasangan gamelan Sekaten yang kita kenal sekarang.

Bukan Sekadar Musik, Tapi Tata Letak Pun Penuh Makna

Yang bikin unik, peletakan gamelan saat Sekaten itu ada aturannya. Kyai Guntur Madu, yang lebih tua, selalu ditaruh di Pagongan Kidul (selatan) Masjid Gedhe Kauman, tepat di sisi kanan Sultan. Sementara Kyai Nogo Wilogo, yang “adik”nya, ditempatkan di Pagongan Lor (utara). Jadi, bahkan posisi gamelan pun punya filosofi tersendiri.

Prosesi Sakral: Dari Jamasan sampai Miyos Gongso

Gamelan Sekati ini nggak diperlakukan sembarangan. Saat nggak dipakai, keduanya disimpan di bangsal keraton, dijaga layaknya pusaka kerajaan. Tiga hari sebelum Sekaten, ada ritual jamasan, yaitu prosesi membersihkan gamelan dengan penuh khidmat.

Setelah itu, tibalah saatnya Miyos Gongso: gamelan diarak keluar keraton, dikawal abdi dalem serta pasukan bregada dengan busana adat Jawa. Begitu bunyi pertama dipukul, suasana Sekaten pun resmi dimulai.

Irama yang Jadi Identitas

Mungkin bagi orang luar, gamelan hanya sekadar alat musik tradisional. Tapi buat Jogja, Gamelan Sekati lebih dari itu. Ia adalah simbol perjanjian sejarah, pusaka yang dirawat penuh cinta, sekaligus pengikat rasa kebersamaan di alun-alun setiap tahun. Suara gamelan ini seolah mengingatkan: ada tradisi yang nggak boleh hilang, meski zaman terus berubah.

Dengan begitu, setiap kali gamelan Sekaten mengalun, kita nggak cuma dengar musik, tapi juga cerita ratusan tahun yang masih hidup sampai sekarang.

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak